THE LONG JOURNEY FROM TURMOIL TO SELF SUFFICIENCY Penulis: Prof. Dr. Donald W. Wilson Penerbit: Yayasan Persada Nusantara, Jakarta, 1989, 220 halaman. BANYAK sudah orang asing yang menulis buku tentang Indonesia. Ada yang tergolong studi ilmiah, yang bersifat laporan perjalanan, lalu ada pula yang lebih bersifat jurnalistik (terutama yang ditulis bekas wartawan asing yang ditempatkan di Indonesia, yang beberapa di antaranya bisa disebut karya ilmiah). Sejumlah orang yang pernah bertugas di sini juga menulis tentang Indonesia (misalnya eks Dubes AS Howard P. Jones: The Possible Dream dan bekas Dubes Singapura Lee Khoon Choy An Ambassador's Journey). Tulisan Wilson ini sekilas mengesankan suatu karya ilmiah karena dicantumkannya gelarnya secara lengkap. Apalagi bila menengok daftar pustaka di akhir buku yang menyita 30 halaman sendiri dan menyebut ratusan judul buku. Namun, setelah kita membalik-balik buku ini, kesan itu akan segera hilang. Kata pengantarnya sendiri menyebutkan, tujuan buku ini adalah untuk memberikan gambaran yang menarik, penting, dan informatif tentang Indonesia, rakyatnya, kebudayaan dan cara hidupnya. Caranya dengan menceritakan kehidupan Presiden Soeharto, dengan tekanan pada kurun waktu 1965-1988. Tidak jelas apakah karena agar menarik, buku ini lantas dipenuhi dengan pujian. Hampir tiap halaman buku ini dihiasi dengan sanjungan akan keberhasilan pembangunan Indonesia berkat kepemimpinan Presiden Soeharto. Sayangnya, seperti diungkapkan oleh Dr. Anwar Nasution dari FE UI dalam diskusi perkenalan buku ini di Jakarta pekan lalu, keberhasilan-keberhasilan itu dicantumkan tidak secara rinci, tanpa dioles, hingga mengecewakan. Sampai-sampai Anwar Nasution menyebut buku ini the worst book yang pernah ditulis orang asing tentang Indonesia. Wilson sendiri mengakui, seperti diungkapkannya pada TEMPO, ini bukan buku ilmiah, tapi lebih bersifat jurnalistik. Namun, sebagai karya jurnalistik pun buku ini meragukan. Salah satu dasar pokok dari karya jurnalistik adalah obyektivitas. Dan Wilson tampaknya kurang memperhatikan ini. Buku yang terbagi dalam 12 bab ini praktis sepi dari kritik, yang konstruktif sekalipun. Pujian memang menyenangkan, terutama bila itu datang dari orang asing, lebih-lebih jika yang memberikannya badan internasional yang berbobot seperti Bank Dunia atau IMF. Namun, sanjungan yang berlebihan, tidak proporsional, bisa membuat kesan bahwa semua itu artificial. Terkesan bahwa buku ini terutama ditujukan pada orang asing, mungkin untuk menjawab berbagai kecaman yang selama ini terlontar kepada Indonesia. Itu terlihat juga dari pembelaan Wilson pada kritik-kritik penulis asing pada Indonesia. Namun, melihat terlalu berlimpahnya pujian Wilson, dikhawatirkan hal itu sulit tercapai. Malah bisa jadi yang terjadi efek bumerangnya. Desain dan kulit buku ini juga tak menolong menghilangkan kesan adanya "pesan sponsor". Wilson 52 tahun, yang semasa remaja pernah tinggal di Indonesia, mengakui bahwa ia menulis buku ini dengan penuh emosi. Indonesia dianggapnya "tanah air kedua". Dengan semangat itulah ia menggambarkan Indonesia. Jadinya Indonesia mirip sebagai sebuah negara impiannya yang mungkin terbentuk berkat kenangan dan imaji masa kecilnya. Desa-desa dengan semangat gotong-royongnya yang tebal, misalnya, digambarkan Wilson dengan penuh nostalgia. Desa, tempat di mana ada semacam "dewan orang tua" yang bermusyawarah untuk memecahkan masalah-masalahnya. Padahal, kita semua tahu, betapa sudah berubahnya desa-desa kita. Wilson mengakui telah menjelajah Indonesia dan berbicara dengan ribuan orang. Namun, dalam bukunya ini, cerita sukses Indonesia terasa terlalu bertumpu pada keberhasilan birokrasi. Peran ABRI, juga berbagai lembaga lain seperti parpol, ormas, serta rakyat pada umumnya, kurang mendapat porsi. Semangat Wilson untuk mencoba mengerti kesulitan-kesulitan Indonesia sungguh luar biasa. Akibatnya, banyak masalah musykil yang harus dihadapi Indonesia kurang tergambar dengan pas. Setelah membaca buku ini, kita akan mendapatkan kesan: semuanya pasti akan beres. Dan ini bisa menyesatkan . Soalnya kita sadar, masih menggunung masalah-masalah yang harus kita hadapi, juga kesulitan untuk menanggulanginya, hingga optimisme yang berlebihan bisa mengurangi kewaspadaan kita. Usaha Wilson untuk mengerti Indonesia memang tidak ada salahnya. Malah, berkat itu -- termasuk dua kali wawancaranya dengan Presiden Soeharto -- ia bisa mengungkapkan sisi-sisi pandangan Pak Harto yang selama ini belum banyak diketahui. Misalnya tentang soal suksesi serta keterlibatan putra-putranya dalam bisnis (lihat Ia Orang yang Sangat Mengabdi). Wilson menyimpulkan, ia percaya Presiden Soeharto akan berhasil melaksanakan tantangan terbesar dalam kariernya: demokratisasi proses politik dan transisi ke kepemimpinan yang baru. Selain itu, "Tak ada warisan yang lebih besar yang bisa diberikan Presiden Soeharto pada bangsa Indonesia, dan saya yakin itulah keinginannya yang murni. Tapi untuk itu dia tak mau mengorbankan stabilitas serta kesinambungan pembangunan dan kemajuan," tulis Wilson. Mudah-mudahan dalam buku keduanya nanti -- direncanakan akan ditulisnya -- Wilson bisa lebih bersikap obyektif. Seperti kata dokter, makan permen yang terlalu banyak bisa membuat perut mulas. Banjir sanjungan pun bisa berakibat yang sama. Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini