THE WAR OF THE ROSES Pemain: Michael Douglas, Kathleen Turner, Danny De Vito Skenario: Michael Leeson Sutradara: Danny De Vito Produksi: Twentieth Century Fox TRIO Michael Douglas - Kathleen Turner - Danny De Vito (Romancing the Stone, Jewel of the Nile) muncul dengan kompak dalam film The War of the Roses. Banyolan getir itu dituang dari novel karya Warren Adler oleh penulis skenario: Michael Leeson. Dan mencetak box office. De Vito, yang kita kenal dengan film seri Taxi dan terakhir dalam Twins, kali ini main sekaligus menyutradarai. Ia memerankan seorang pengacara yang menceritakan pengalamannya dalam menangani kasus perceraian Barbara (Kathleen Turner) dan oliver Roses (Michael Douglas). Barbara seperti kehilangan dirinya setelah pernikahannya dengan Oliver membuahkan dua anak. Oliver, yang maniak kerja, lupa memberikan ruang kehidupan pada istrinya sehingga rumah mewah dengan perabotan mahal akhirnya tak membawa kebahagiaan. Barbara tak punya tempat dan kesempatan untuk mengekspresikan dirinya. Ia hanya jadi kambing congek dari seorang suami, pengacara muda lulusan Harvard yang sukses itu. Akhirnya, ketika ia menemukan kenyataan bahwa ia tak merasa kehilangan kalau toh suaminya meninggal, ia membuat keputusan. Bercerai. Tetapi perceraian menjadi amat sulit karena sebenarnya Oliver tidak menghendakinya. Lelaki itu mencintai istrinya dan tak sanggup meninggalkan "rumah tangga" yang telah dibinanya 17 tahun. Ketika Barbara menuntut rumah dan segala isinya, Oliver mati-matian mempertahankannya. Seluruh film ini menuangkan keganasan "pertempuran" keduanya dalam memperebutkan rumah. Cinta menjadi benci yang menyala-nyala. De Vito memvisualkan pertentangan itu dengan adegan-adegan yang "brutal" dan nakal. "Pemain film ini hanya ada tiga. Oliver, Barbara, dan rumah yang mereka perebutkan," kata De Vito. Ia tak menyebut tokoh Gavin D'Amato yang dimainkannya dengan bagus. Ini sebenarnya bukan masalah perceraian, tetapi pemberontakan wanita yang ingin memperoleh identitasnya. Dan usaha itu jadi begitu menarik karena dituturkan dengan "ugal-ugalan". De Vito tak menyia-nyiakan potensinya. Kisah itu ia ekspresikan dari sudut eksistensinya sebagai "komedian" . Walhasil, cerita yang menurut komentarnya, "cerita gila dengan karakter-karakter kuat dan lelucon yang pekat" itu jadi tampil dalam sebuah gaya yang khas. Kasar, kurang ajar, tapi telak. Gaya tuturnya, yang konsisten dan total sejak awal hingga akhir, menyebabkan film ini buat saya bukan hanya sekadar hiburan. Adegan-adegan yang ditampilkannya memang berlebihan, tetapi menyentuh. Betapa tidak. Coba simak saja di dalam kenyataan, kita juga menemukan pantulannya. Di koran kita sudah membaca bagaimana seorang suami memotong-motong istrinya. Atau bagaimana Presiden Argentina, Carlos Menem, mengirimkan pasukan kawal kepresidenan untuk mengusir istrinya, Nyonya Zulema Yoma, dari Wisma Olivos. The War of the Roses sebenarnya tidak jauh dari itu. Ia bicara tentang kemanusiaan dengan idiom-idiom yang unik. Kaidah-kaidah realisme dipakai De Vito bilamana perlu. Tapi setiap saat, ia langsung melepaskan segala ikatan kewajaran dan kita menikmati adegan-adegan karikatural yang sadistis. Tak masuk akal, tetapi kita tak mampu menolaknya karena itu adalah cerminan watak manusia. Karena itu adalah kenyataan hidup, walaupun memang edan. Kita seperti menghadapi sebuah lakon "absurd" ketika melihat seorang istri mengunci suaminya di ruang sauna menggasak sampai ringsek mobil kesayangannya ketika seorang suami memotong-motong hak sepatu koleksi istrinya ketika ia mempermalukannya di depan tamu. Peradaban tak sanggup lagi mengekang nafsu "binatang" kedua pasangan elite yang kalap itu. Mereka sama-sama jadi "kampungan" saling memburu untuk melenyapkan lawannya. Sementara itu, setiap ada kesempatan Oliver masih tetap menawarkan perdamaian dan bernafsu menggeluti tubuh istrinya -- bekas bintang senam kampus yang panas itu. Kramer vs Kramer rasanya jadi melodrama lunak kalau dibandingkan dengan keganasan ala De Vito ini. Film ini juga mengingatkan pada Whos's Afraid of Virginia Woolf. Hanya saja tidak ada rimba kata-kata, tetapi belantara hantam-hantaman yang mirip film kartun. Gambar-gambarnya yang menarik (Stephen H. Burum) --meskipun belum didukung potensi akting maksimal Michael Douglas dan Kathleen Turner -- menjadikannya film yang mengesankan. De Vito tidak tiba-tiba menjadi sutradara. Sebelumnya ia sudah sempat membuat: Throw Momma from the Train. Film itu pada tahun 1987 cukup meledak dan membuktikan bahwa De Vito bukan hanya aktor yang baik -- One Flew Over the Cukkoo's Nest, Wise Guys, Ruthless People, Tin Men -- tapi sutradara yang punya janji. Terutama karena ia punya warna sendiri. Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini