Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Nasib buruh: belum menjadi pertimbangan perusahaan

Komentar pemogokan buruh pabrik di tanggerang. tuntutan kenaikan upah harian menjadi rp 3000 wajar dan tak akan membuat pengusaha gulung tikar. upah yang murah di indonesia untuk mengenjot ekspor.

18 Juli 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mogok lagi. Itulah yang dilakukan buruh pabrik di Tangerang, Jawa Barat (TEMPO, 27 Juni 1992, Nasional). Mereka menuntut kenaikan upah harian dari Rp 2.100, yang dianggap sudah tidak layak, menjadi Rp 3.000 per hari. Sebagai manusia, saya merasakan, tuntutan upah Rp 3.000 per hari itu cukup manusiawi dan tidak akan membuat pengusaha gulung tikar. Jumlah itu pun sebenarnya masih harus dipertanyakan lagi: apakah sudah memadai untuk hidup layak? Sebab, harga ketoprak, mi ayam, atau nasi warteg paling murah Rp 500. Belum lagi biaya sekolah anak-anak, yang merupakan amanat UUD 1945, untuk mencerdaskan bangsa. Jadi, sudah saatnya upah minimum buruh ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup minimum mereka. Dengan upah harian Rp 2.100, tampaknya pengusaha tak lagi melihat buruh sebagai manusia yang memerlukan hidup layak. Buruh dianggap mesin produksi yang upahnya tak boleh lebih tinggi dari ongkos mengoperasikan mesin. Kalau buruh tak mau menerima upah yang sudah ditentukan, silakan keluar. Masih banyak para penganggur lain yang akan menggantikannya. Kekuatan tawar-menawar pengusaha ini masih sering dimanfaatkan untuk mengancam posisi buruh. Upah yang murah di Indonesia ini sering kita tonjolkan sebagai hal yang menguntungkan untuk menggenjot ekspor agar bisa bersaing dengan negara lain. Etiskah bila kita meningkatkan ekspor, memupuk keuntungan melalui keringat buruh, sementara buruh tidak bisa menikmati hasilnya? Konon, beberapa lembaga swadaya masyarakat di luar negeri menilai murahnya upah buruh di Indonesia tidak layak dianggap sebagai hal yang menguntungkan, tapi sebagai eksploitasi manusia yang kelewat kejam. Konsepsi keuntungan bagi stake holder (keuntungan perusahaan berarti keuntungan bagi pemegang saham, manajemen, buruh, pemasok, dan konsumen) yang merupakan sistem baru dalam menunjang pertumbuhan ekonomi masih belum menjadi pertimbangan bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia. Tanggung jawab sosial mereka masih belum sampai ke tingkat itu. IR. HENGKI HERWANTO, M.B.A. Jalan Masjid RT 005/01 Kelurahan Ceger Jakarta 13820

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus