DARI 160 pohon yang dimaksudkan sebagai cikal bakal hutan pengganti, sebagian tampak layu, sebagian mati. Padahal, pihak penanam, PT Alam Nusa Segar, telah menebang 15.000 m3 pohon sejak awal tahun ini di Pulau Yamdena,Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara. Pohon-pohon pengganti itu ditanam sepanjang aliran sungai. Kini, dengan tanaman yang sebagian besar layu, penduduk Yamdena sekitar 75.000 jiwa tak bisa membayangkan apa kelak yang akan terjadi, terutama pada musim kemarau. Kondisi ini harus siap mereka terima karena 164.000 hektare dari 324.000 hektare luas hutan yang ada sudah ditetapkan sebagai areal HPH dan akanditanami bibit pengganti. Kurangnya air dan tipisnya kesuburan tanah menyebabkan bibit tak bisa tumbuh. Yamdena adalah pulau kecil seluas 450.000 hektare lebih besar sedikit dari DI Yogyakarta. Di situ, hanya ada beberapa mata air. Penduduk Saumlaki, ibu kota Kecamatan Tanimbar Selatan misalnya, harus menempuh 19 kilometer untuk bisa memperoleh air. Alam yang tak bersahabat membuat penduduk Yamdena sebagian besar nelayan atau berkebun harus berjuang demi hidup. Esterlina, 53 tahun, seminggu sekali berjalan kaki dari kampungnya ke Saumlaki untuk menjual hasil kebun. Perjalanan jauh itu paling banyak menghasilkan Rp 10.000 tiap minggu. Mungkin karena alamnya keras, penduduk bersikap hati-hati. Kendati 40 persen hidup di bawah garis kemiskinan, mereka amat menjaga hutan di sekelilingnya. Tiap petuanan (marga) memiliki tanah yang diawasi dengan baik. Bila ada yang ingin berkebun, harus ada izin dari petuanan, yang baru keluar setelah musyawarahkan. "Bagi pelanggar, harus membayar ganti rugi gading gajah satu depa," ujar Kepala Desa Tumbu, Tumbur C. Manunwembun. Saat ini, pembakar hutan akan didenda sampai Rp 10 juta. Meskipun hatihati mengelola hutan, penduduk sering kekurangan air. Karena itu, mereka resah ketika April tahun lalu Menteri Kehutanan memberi izin HPHpada PT Alam Nusa Segar, milik Grup Salim. Izin berlaku untuk 20 tahun. Padahal, hutan yang dikomersialkan itu dulu sudah ditetapkan sebagai hutan riset dan hutan lindung (keputusan Dirjen Kehutanan tahun 1971). Tak jelas, bagaimana keputusan itu sama sekali tak digubris. Masalah ini lalu mencuat ketika ketua IGGI J.P. Pronk melontarkan kritiknya tahun lalu. Di pihak lain, PT Alam Nusa Segar beraksi terus. Tengah Juli lalu, ketika utusan Tanimbar memprotes ke DPR di Jakarta, Menteri Kehutanan Hasjrul Hararap berang dan menantang seraya menegaskan bahwa ia siap dituntut ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Tak putus asa, Ikatan Cendekiawan Tanimbar Indonesia meneruskan protes.Selasa pekan lalu, mereka menggelar spanduk sewaktu rapat kerja Komisi IV DPR dengan Menteri Kehutanan. Akhirnya, Hasjrul menegaskan, sudah ada kesepakatan dengan warga Tanimbar untuk pengkajian ulang. Tapi, penebangan boleh jalan terus. Tidak status quo? "Lo, kan ada amdalnya (analisa dampak lingkungan),yang dinilai sudah baik oleh pemerintah. Masa, kita tidak percaya," katanya. Amdal adalah studi mengenai dampak suatu kegiatan terhadap lingkungan. Dalam dokumen amdal diakui bahwa proyek komersialisasi Alam Segar akan membawa 23 dampak negatif, di samping 12 dampak positif. Dengan lebih banyaknya dampak negatif, tidaklah masuk akal bila izin dikeluarkan. Ada kesanbahwa amdal sendiri tidak dengan serius dijadikan pegangan dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun begitu, tak urung Hasjrul mengemukakan ada beberapa dampak positif seperti lapangan kerja, pembangunan balai desa, dan PBB. Semua itu toh tidak menjamin bahwa hutan Yamdena tidak akan punah. Ada satu hal lagi, yakni perbedaan mencolok antara apa yang tercantum di amdal dan yang ada dalam kehidupan sehari-hari di Yamdena. Menurut amdal, kesadaran penduduk akan fungsi hutan masih rendah. Mengapa? Disebutkan, petuanan selalu memberi izin bila penduduk akan membuka ladang berpindah. Padahal, apa yang dipantau di lapangan oleh wartawan TEMPO Mochtar Touwe lain lagi. Seperti disebutkan di atas, petuanan tidak sembarang memberi izin haruslewat musyawarah. Dan kalau ketentuan petuanan dilanggar, sanksinya cukup berat. Kasus hutan Yamdena secara tak langsung membuktikan, amdal belum menjamin bahwa setiap proyek yang diberinya "lampu hijau" sudah benar-benar aman. Memang, pada pembahasan di tingkat pusat ada staf dari KLH yang dilibatkan. Tapi Budi Purwono, seorang staf KLH, mengatakan bahwa ia tak ikut membahas karena sedang keluar kota. Berapa lama pembahasan sebuah amdal? "Sekitar empat jam," katanya. Dalam waktu sesempit itu, mereka harus memberi saran pada studi yang dipesan pengusaha. "Memang andal belum bisa menjamin bahwa sebuah proyek tidak akanmerusak lingkungan," kata pembantu asisten bidang konservasi KLH, Hadi S.Alikodra. Kini dia diserahi tanggung jawab mengkaji ulang kasus Yamdena. Dia juga sudah mempunyai referensi dari seorang ahli tanah asing yang pernah meneliti di Yamdena. Isinya? Menurutnya, agak berbeda dengan hasil amdal, walau referensi itu tak otomatis akan dijadikan kebijaksanaan KLH. Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini