KURSI Ketua Mahkamah Agung sempat kosong setelah Ali Said menerima surat pensiun Rabu pekan lalu. Yang kemudian mengundang pergunjingan, bahwa suratitu seolah "terlupakan", sampai telat diturunkan. Padahal, sesuai dengan Undang-Undang, Ali Said mestinya harus pensiun mulai 1 Juli 1992, setelah usianya mencapai 65 tahun. Ini bukan cuma membuat Ali Said bingung mesti ke kantor atau tidak. Yang lebih penting, DPR pun lupa dan belum menyiapkan usulan siapa yang dicalonkanuntuk menggantikan ketua lembaga yudikatif itu. Dan DPR pun tak mengambil inisiatif karena belum mendapat masukan dari Pemerintah. Akhir pekan lalu, Menteri Sekretaris Moerdiono memang telah mengirim surat kepada Ketua DPR Kharis Suhud. Dalam surat itu, kecuali pemberitahuan pensiunAli Said, konon juga disertakan calon-calon ketua MA yang mesti dibahas DPR. Menurut jadwal, pertengahan bulan ini DPR akan mengusulkan calon itu untukdiangkat oleh Presiden. Yang kemudian menjadi pertanyaan, mengapa pencalonan Ketua MA itu seolah "terlupakan", baik oleh Pemerintah maupun DPR. Ada kesan bahwa lembaga itu luput dari perhatian. Padahal, dalam sistem ketatatanegaraan, MA sebagai lembaga yudikatif mestinya mempunyai peran setara dengan "dua pilar" yang lain, yakni eksekutif danlegislatif. Yang "terlupakan" dari MA tampaknya bukan cuma soal surat pensiun Ali Said dan pencalonan pengganti yang terlambat. Dalam undang-undangyang mengatur MA pun tercermin bahwa peran lembaga yudikatif itu cuma mengurus soal kecil, yakni seluk-beluk peradilan seperti kasasi, peninjauan kembali,mengawasi hakim, dan hak uji materiil peraturan di bawah undang-undang. Padahal, dalam kehidupan ketatanegaraan yang demokratis, ketiga pilar itu selayaknya mempunyai peran yang saling mengontrol. Ide ini sudah muncul sejakpenyusunan UUD 1945. Moh. Yamin ketika itu mendesak agar MA mempunyai hak uji undang-undang dan peran yang setara dengan legislatif dan eksekutif. Usul itu ditolak Soepomo karena dianggap sebagai pikiran yang berbau liberal. Namun, terlepas dari alasan itu, keinginan untuk memberikan hak uji kepada MA atas undang-undang yang disusun DPR dan disahkan presiden, sesuai atau tidakdengan UUD, tampaknya masih hidup. Hal ini menunjukkan bahwa peran MA, menurut istilah Ali Said, memang benar-benar "dipreteli". MA belum menjadi yudikatif yang sebenarnya, sebagai "pilar" yang setara dengan legislatif dan eksekutif. Dengan hak uji itu, paling tidak MA bisa melakukan fungsi kontrol atas produk tertinggi legislatif dan eksekutif, yakni undang-undang. Peran MA yang "dipreteli" dan masalah lain yang tak terselesaikan seperti perkara yang menumpuk dan dualisme atasan para hakim menjadi pusat sorotan dalam bagian pertama Laporan Utama ini. Bagian ini juga dilengkapi dengan peristiwa terakhir yang menyangkut terlambatnya surat pensiun dan siapa calon ketua MA yang akan tampil. Bagian kedua berupa wawancara Ali Said sendiri, yang secara terbuka mengutarakan pandangannya tentang tugas-tugas MA dan mengapa MA "dikecilkan". Bagian ketiga menunjukkan betapa pentingnya hak uji undang-undang sebagai wewenang yang bisa mengangkat pamor MA. Bagian keempat lebih menampilkan perbandingan dengan lembaga yudikatif serupa di berbagai negara. Sebagian besar MA memang mempunyai peran sangat penting dalam kehidupan hukum di negara masing-masing. Laporan Utama ini juga dilengkapi sumbangan pikiran pakar hukum Sri Sumantri dan Todung Mulya Lubis. Dalam Kolom kedua pakar itu, disoroti peran MA, dan sepantasnyalah lembaga yudikatif itu mendapat peran yang layak di suatu negara hukum. A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini