Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRAGEDI hukum terjadi lagi untuk kesekian kali. Seorang pelapor tindak pidana telah dihukum berat, sementara mereka yang dilaporkan masih bebas merdeka. Vincentius Amin Sutanto, mantan financial controller Asian Agri Group, telah dihukum 11 tahun penjara, sementara bertumpuk dokumen yang ia yakini sebagai bukti kejahatan pajak oleh perusahaan tempatnya bekerja belum berhasil mengungkap apa pun.
Pengadilan lebih tertarik membuktikan Vincent mencuri uang US$ 3,1 juta milik Asian Agri dengan cara melakukan pemalsuan tanda tangan. Dalam konteks ini, Vincent memang pantas dikenai pasal pencurian, tapi agak aneh kalau ia dijerat dengan pasal pencucian uang. Logika yang gampang dipahami, dengan dikenai pasal pencucian uang, hukuman bagi Vincent bisa lebih berat.
Vincent agaknya telah membuat murka Sukanto Tanoto, sang bos Raja Garuda Mas, pemilik konglomerasi yang menaungi Asian Agri. Vincent tak sekadar mencuri, tapi juga melarikan diri ke Singapura dan membongkar ”rahasia bisnis” sang taipan—yang pada 2006 dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya di Indonesia. Kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Vincent menyatakan perusahaan yang memiliki 14 anak perusahaan itu memanipulasi pajak dan membuat negara rugi sekitar Rp 1 triliun.
Caranya bermacam-macam. Menurut Vincent, mulai dari membuat seolah-olah perusahaan selalu rugi, sampai modus transfer pricing. Akibatnya pajak berkurang. Uang hasil ”penghematan pajak” lalu dialirkan ke perusahaan afiliasi Asian Agri di Mauritius, Makao, dan Hong Kong. Bukti-bukti aliran dana sudah begitu lengkap disodorkan Vincent ke KPK.
Sayang, bukan dugaan kejahatan dengan nilai kerugian negara lebih besar yang didahulukan. Vincent malah didakwa berlapis-lapis, dengan pasal pencucian uang dan pemalsuan surat. Ancaman hukuman maksimal kejahatan pencucian uang adalah 15 tahun, dan untuk pemalsuan surat maksimal 6 tahun penjara.
Pasal pencucian uang yang didakwakan juga bisa dipertanyakan. Tindak kejahatan pencucian uang, menurut Undang-Undang tentang Pencucian Uang, selalu berkaitan dengan upaya ”menyamarkan” harta hasil tindak pidana yang ilegal menjadi legal. Jaksa benar menerapkan pasal ini kalau dianggap ”harta” milik Asian Agri yang dicuri Vincent merupakan hasil tindak pidana. Artinya, bila harus mengikuti logika ini, setelah Vincent dijatuhi hukuman, perusahaan itu perlu diusut untuk kasus pencucian uang.
Jika pengusutan tidak dilakukan, sulit menghindarkan kesan ada kesengajaan untuk menghukum Vincent seberat-beratnya dengan cara mengutak-atik perangkat Undang-Undang tentang Pencucian Uang.
Kami menyarankan aparat hukum mengungkap segera dugaan tindak pidana penggelapan pajak seperti dilaporkan Vincent. Fakta bahwa Vincent dihukum begitu berat saja sudah menunjukkan bahwa hukum kita belum memberikan insentif untuk orang yang bersedia menjadi whistle blower, sang ”peniup peluit” yang mengetahui kejahatan besar. Padahal ia menempuh risiko yang tak kecil untuk melakukannya.
Kasus Vincent membuktikan masih ada ”lubang” dalam sistem hukum kita. ”Lubang” inilah yang mendatangkan ironi: si pelapor dihukum berat, tapi laporannya tinggal teronggok di atas meja aparat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo