Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKANKAH Bank Mandiri bernasib serupa dengan Jamsostek, Telkom, dan Danareksa? Pertanyaan itu menghinggapi benak para analis bank dan pasar modal akhir-akhir ini, setelah meruap kabar bahwa pucuk pimpinan bank terbesar di Indonesia ini sedang ”digempur” dari segala penjuru. Jika benar begitu, tentu amat disayangkan. Sebab, kinerja bank beraset lebih dari Rp 260 triliun ini sedang bersinar.
Hingga akhir Juni lalu, laba bersihnya naik 163 persen dari tahun sebelumnya. Prestasi lainnya, bank pelat merah ini berhasil menurunkan rasio bersih kredit seretnya (non-performing loan) hampir empat kali lipat menjadi tinggal 3,9 persen—di bawah ketentuan maksimal Bank Indonesia 5 persen. Sukses ini amat melegakan, karena sejak bank sentral mengaudit bank-bank BUMN dan mengeluarkan aturan baru peningkatan standar kualitas aktiva produktif bank pada akhir 2004, Mandiri boleh dibilang sulit bernapas.
Audit BI menemukan kondisi kredit yang disalurkan ternyata tak sebagus yang dilaporkan. Ditambah dengan penerapan aturan baru tersebut, alhasil kredit bermasalah bank-bank nasional langsung membubung. Celakanya, sekitar tiga perempatnya (Rp 53 triliun) dikoleksi bank-bank milik negara. Bank Mandiri yang paling tersiksa. Sebab, gara-gara kredit seretnya meroket hampir empat kali lipat menjadi Rp 27 triliun, labanya tergerus tinggal setengah triliun rupiah.
Kini masa suram itu mulai sirna. BI pun tak lagi memasukkan Mandiri ke daftar bank yang harus diawasi intensif. Ini berkat langkah tegas Direktur Utama Mandiri Agus Martowardojo—menggantikan E.C.W. Neloe dua tahun lalu—menghadapi para debitor bandel. Secara terang-terangan, Agus pada pertengahan tahun lalu mengumumkan lebih dari dua lusin pengutang kakap yang dikategorikan tak kooperatif. Mereka diminta segera melunasi dan menambah angsuran pembayaran utangnya.
Strategi jitu dijalankan Agus dengan memfokuskan bidikan pada enam debitor papan atas. Pertimbangannya, jika enam utang kakap diselesaikan, rasio kredit seret Mandiri kembali normal. Maklum, utang mereka, plus Garuda Indonesia, hampir setengah dari total kredit bermasalah Mandiri. Khawatir diperkarakan ke kejaksaan, para debitor pun akhirnya ”melunak”.
Langkah berani itu tak lepas dari kekompakan jajaran petinggi Mandiri di bawah duet Agus dan Komisaris Utama Edwin Gerungan. Agus memang sejak awal menyodorkan syarat: ia baru mau memimpin bank itu jika diberi keleluasaan menyusun tim intinya. Faktor penting lainnya, keduanya tak berakar pada kepentingan politik tertentu. Inilah yang membuat Agus lebih leluasa dan lincah bergerak ketimbang direktur utama bank BUMN lainnya.
Yang patut disayangkan, ada ”serangan balik”, entah melalui ”politikus hitam” atau yang lain. Karyawan pun baru-baru ini menggelar aksi demo menuntut pemerintah mengganti direksi dan komisaris. Kurang masuk akal, tapi itulah tuntutan yang muncul.
Jika perombakan terjadi, Mandiri mengulang kisah tragis rontoknya Direktur Utama Jamsostek, Telkom, dan Danareksa—setelah digempur komisaris dan karyawan. Pemerintah, sebagai pemilik Mandiri, hendaknya tak gegabah merombak the winning team Mandiri. Taruhannya mahal. Bila bank ini kembali keropos, dana rekapitalisasi Rp 178 triliun yang sudah digelontorkan pemerintah dari duit rakyat untuk menyehatkan bank ini akan sia-sia belaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo