Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Awas Culik

27 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAISAH Ali, bocah lima tahun dengan bola mata indah itu, sepekan ini merebut perhatian kita. Ia diculik sepulang dari sekolah. Orang ramai pun tersentak: anak-anak kita ternyata tak aman. Sewaktu-waktu ia bisa tercerabut dari pelukan ibunya.

Anak yang ketika berangkat sekolah masih tersenyum ceria itu tiba-tiba tak lagi terdengar suaranya pada siang hari. Segera terbayang wajah panik dan pedihnya hati sang ibu. Di layar kaca, melebihi sinetron dan infotainment mana pun, pemirsa pasti trenyuh ketika menyaksikan ibu Raisah berdoa: ”Anakku, tetaplah kuat dan tabah di situ.”

Alhamdulillah, Raisah telah kembali. Salut buat polisi yang telah membekuk penculik. Diharapkan, aparat penegak hukum segera mengusut 14 kasus penculikan yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Kasus ini benar-benar mengusik ketenteraman orangtua yang memiliki anak usia sekolah. Kami juga yakin, aparat kepolisian di daerah akan mengikuti sukses koleganya di Jakarta, mengingat masih ada beberapa kasus penculikan di daerah yang belum terungkap.

Keberhasilan pengungkapan oleh polisi ini tentu tak lepas dari tekanan publik yang besar. Gelombang empati muncul di mana-mana. Kolega Ali Said, sang ayah, misalnya, membuka ”Raisah Care” dan ”Raisah Center”. Ibu-ibu pengajian di sejumlah tempat berdoa bersama. Gubernur Jakarta Sutiyoso mengirim radiogram ke semua wali kota dan bupati, memerintahkan jajarannya mencari gadis cilik yang hilang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun meminta polisi bekerja keras.

Besarnya kepedulian publik tersebut sangat mengharukan. Untuk kesekian kali masyarakat kita membuktikan bahwa mereka akan berdiri bersama ketika bencana menerpa atau tetangga mereka dirundung duka.

Namun kisah Raisah itu sekaligus menjadi alat pengingat yang baik bahwa masyarakat yang peduli itu ternyata kerap lalai memberikan jaminan rasa aman kepada anak-anak mereka sendiri. Padahal rasa aman adalah hak bagi seorang anak dan kewajiban bagi orangtua, juga guru di sekolah dan aparat penegak hukum, untuk memberikannya.

Kita menyaksikan anak-anak sering dibiarkan bersekolah dan bermain sendiri tanpa pengawasan sama sekali. Anak-anak juga abai diajari bagaimana bersikap menghadapi orang yang tak dikenalnya. Sering luput pula orangtua mendidik anak bagaimana menghargai orang-orang di sekitarnya.

Memberikan rasa aman tak dengan sendirinya berarti menerapkan pengawasan yang ketat. Mengawasi secara ketat justru bukan hal baik, karena seorang anak tetap membutuhkan kebebasan. Rasa aman adalah ketika sang anak percaya dan mengenal betul orang-orang di sekelilingnya: dengan siapa ia bermain, berteman, belajar di kelas atau ruang kursus, jajan di kantin sekolah, hingga pulang ke rumah.

Pihak sekolah selama ini lebih tampak sibuk meningkatkan fasilitas pengajaran, memperbaiki kurikulum dan kesejahteraan guru, ketimbang memperbaiki sistem pengamanan bagi anak didik. Tak hanya selama proses belajar semestinya murid mendapat perhatian yang memadai, tapi juga ketika bermain di halaman sekolah hingga tiba kembali di rumah.

Usul Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi agar sekolah menggelar simulasi penculikan untuk meningkatkan kewaspadaan anak dan pengelola sekolah patut diterapkan. Ini bagus sebagai langkah pencegahan. Setidaknya, melalui pelatihan, anak-anak dapat memperoleh informasi mengenai pola atau modus pelaku penculikan. Sekolah juga tahu bagaimana seharusnya membantu. Berbekal pemahaman ini, anak dan pengelola sekolah diharapkan mampu bertindak menghadapi penculikan.

Jelas, langkah pencegahan ini harus disertai upaya serius aparat kepolisian dalam mengusut pelaku penculikan. Kejahatan ini terbukti telah menjalarkan kecemasan di masyarakat. Lihatlah jumlahnya yang mencengangkan: 14 kasus penculikan di Jakarta dan sekitarnya hanya dalam waktu dua bulan terakhir! Angka ini setara dengan jumlah penculikan selama setahun di seluruh Indonesia pada tahun lalu.

Dari 14 kasus itu, korban dari delapan kasus penculikan adalah anak-anak. Motifnya pun beragam: mulai dari masalah ekonomi, dendam atau sakit hati, persaingan usaha, hingga sindikasi perdagangan anak. Bukan mustahil, motif yang lebih mengkhawatirkan bakal ditemukan: kejahatan seksual pada anak. Penculikan anak di Sulawesi Selatan dua pekan lalu mengarah pada motif ini.

Tingginya angka penculikan dan kemungkinan berkembangnya motif pelaku itu mestinya merupakan peringatan serius bagi orangtua dan pendidik. Pun bagi polisi. Tanpa sanksi hukuman seberat-beratnya bagi pelaku, bukan mustahil korban penculikan terus bertambah.

Kisah Raisah telah memberikan pelajaran berharga kepada para orangtua, pendidik, juga penegak hukum, agar senantiasa waspada terhadap mata nyalang yang setiap saat mengintai anak-anak kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus