Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MULYANA Wira Kusumah bukanlah mendapat rehabilitasi. Ia bebas setelah menjalani hukuman penjara atas kasus korupsi. Keadaan itu, paling tidak secara etika dan hati nurani, tidak membenarkannya meminta utuh semua haknya sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia tak pantas menentukan sendiri untuk berkantor kembali di KPU—mungkin diikuti dengan sejumlah pembayaran gaji dan fasilitas.
Ia boleh saja berdalih bahwa keputusannya kembali berkantor di KPU tidak melanggar hukum. Tapi seharusnya ia tak memakai Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum sebagai dasar berpijak. Pasal itu hanya mengatur penggantian anggota KPU antarwaktu, yaitu bila yang bersangkutan meninggal, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Seharusnya KPU, sesuai dengan peraturan tata tertib Nomor 112 Tahun 2001, membentuk dewan kehormatan untuk memberhentikan anggotanya yang terlibat kasus hukum dengan ancaman penjara minimal lima tahun. Sangat disesalkan, dewan kehormatan itu tak pernah dibentuk.
Mulyana memang hanya akan berkantor beberapa bulan di sana. Sebentar lagi anggota KPU yang baru terpilih dan dilantik. Soalnya bukan waktu, tapi etika dan rasa keadilan. Mulyana sudah melakukan sesuatu yang mencederai semangat KPU, sebuah lembaga tempat ikhtiar menyelenggarakan pemilu yang demokratis dilakukan.
Pada Maret dua tahun lalu, anggota KPU Mulyana Wira Kusumah, dan pejabat Sekjen KPU Sussongko Suhardjo, bertemu auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Khairiansyah Salman di restoran Jepang Miyama, Hotel Borobudur, Jakarta. Pertemuan itu membahas hasil audit investigasi BPK tentang penyimpangan di KPU. Hasilnya, muncul ”komitmen” untuk membayar Rp 300 juta kepada si auditor, agar hasil audit tidak merugikan KPU.
Sekitar sebulan setelah itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap basah Mulyana di Hotel Ibis Slipi, Jakarta Barat. Dia diduga akan menyuap kepala sub-tim pemeriksa kotak suara pemilihan umum BPK, Khairiansyah. Ketika itu Mulyana membawa uang Rp 150 juta, setengah dari total uang yang dijanjikan. Mulyana sendiri adalah penanggung jawab pengadaan kotak suara Pemilihan Umum 2004.
Singkat cerita, atas kasus penyuapan dan korupsi pengadaan kotak suara, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonisnya 46 bulan penjara dan denda Rp 50 juta. Setelah menjalani dua pertiga masa hukuman dikurangi remisi tiga setengah bulan, Mulyana pun keluar dari rumah tahanan Salemba, 18 Agustus lalu, dengan status bebas bersyarat.
”Berkat” kasus Mulyana, masalah ”dana taktis” berupa ”sumbangan sukarela” pemenang tender logistik Pemilu 2004 sebesar Rp 20,3 miliar akhirnya terungkap. Dana itulah yang digunakan untuk menyuap dan dibagi-bagikan kepada anggota KPU.
Hukuman penjara untuk Mulyana adalah sesuatu yang pantas. Kini, setelah ia bebas, untuk memberhentikannya sebagai anggota KPU sudah sangat terlambat.
Maka, ketimbang sibuk mengutak-atik pasal-pasal hukum, bersandarlah pada kepantasan, etika, dan moralitas. Pantaskah Mulyana mengizinkan dirinya kembali ke KPU? Jawabnya: tidak—dengan huruf kapital dan tanda seru. Sebab, dari semua kumparan kejadian kasus korupsinya, tidak ada lagi yang tersisa atas namanya di KPU, kecuali warisan buruk. Kembalinya Mulyana ke KPU bisa menjadi preseden buruk untuk kasus serupa di masa mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo