Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Frans Maniagasi*)
*) Pengamat masalah Papua
ADA realitas politik yang tak bisa diabaikan dewasa ini di kalangan rakyat Papua di Irianjaya, yaitu semakin memudarnya nasionalisme dan kebanggaan orang Papua sebagai bangsa Indonesia.
Hal ini sangat transparan pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-55 Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2000 lalu. Di halaman rumah penduduk di hampir seluruh pelosok wilayah Papua, tak kita temukan pengibaran bendera Merah Putihjuga tradisi dan kebiasaan dalam rangka memperingati momentum 17 Agustus. Pertanyaannya: mengapa rakyat Papua semakin "hilang" rasa nasionalisme dan kebanggaannya sebagai "orang Indonesia"? Untuk menjawabnya, persoalan itu dapat ditinjau dari beberapa aspek. Pertama, dari aspek sejarah politik awal menjelang rakyat dan wilayah Papua (Irianjaya) berintegrasi dengan Negara Kesatuan RI (1 Mei 1963). Kedua, dari perspektif ideologis "subyektif" pada dataran empiris pelaksanaan pembangunan nasional selama 32 tahun berkuasanya rezim Orde Baru. Ketiga, dari aspek kejahatan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat TNI/Polri di wilayah itu. Pandangan pertama, dari aspek historis, menurut hemat saya, tak perlu dipersoalkan lagi. Justru perspektif kedua dan ketiga relevan untuk dikaji. Alasannya, hal ini menyangkut bagaimana rakyat Papua telah sampai pada kesimpulan bahwa mereka merasa dirinya "bukan" lagi bagian dari suatu bangsa yang namanya Indonesia. Padahal, kesadaran kebangsaan atau nasionalisme itu, bila dipahami, merupakan refleksi terhadap kesadaran subyektif suatu masyarakat dalam mengidentifikasikan dirinya dalam satu kesatuan yang disebut Indonesiakesadaran akan identitas diri sebagai suatu komunitas sosial seperti yang diformulasikan oleh Prof. Ben Anderson tentang imagined community, untuk mendeskripsikan proses terbentuknya kesadaran nasional pada awal kemerdekaan Indonesia, sebagai dampak dari kolonialisme yang telah menetapkan batas-batas teritorial yang jelas atas wilayah kekuasaannya (Hindia Belanda). Kesadaran akan identitas yang terbentuk dalam kerangka imagined community tadi, jika dikenakan pada kasus rakyat Papua, memotivasi mereka untuk mempertanyakan identitasnya dalam kesatuan Upaya mempertanyakan identitas diri sebagai suatu komunitas sosial terbukti dari gugatan rakyat untuk mengembalikan nama "Papua" yang selama 30 tahun integrasi telah sengaja digelapkan oleh Indonesia dengan sebutan "Irianjaya" (Irian Barat). Gugatan ini tentu memiliki arti serta implikasi politis yang menandai suatu "era baru" bersamaan dengan kebangkitan paradigma baru yang menuntut aktualisasi yang nyata dari paham kebangsaan Indonesia akibat pengalaman empiris pembangunan Orde Baru di Papua selama 32 tahun. Maka, penyebutan itu menjadi sangat rentan dan ditolak oleh fraksi-fraksi MPR pada sidang tahunan MPR, Agustus 2000. Implikasi selanjutnya dari pengembalian nama "Papua" sekaligus menyentuh kaum terpelajarnya untuk mempersoalkan gagasan perlunya ditinjau kembali kekuasaan Indonesia atas wilayah Papua Barat (West Papua). Tegasnya, gagasan mengenai pembentukan suatu negara nasional, Papua Merdeka, yang diwujudkan dengan aksi-aksi demonstrasi disertai pengibaran bendera Bintang Kejora dan lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua. Faktor ini perlu ditegaskan karena, pasca-integrasi Papua dengan Negara Kesatuan RI, kesadaran "subyektivitas" telah dirusakkan dan dianulir lewat pengalaman empiris pelaksanaan pembangunan nasional dan kejahatan serta pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh Orde Baru dan instrumen kekuasaannya, TNI (ABRI) dan Polri, dengan dalil stabilitas nasional dan separatisme Papua Merdeka (OPM). Sehingga tidak jarang ideologi "demi pembangunan" diterapkan dengan dalil untuk mengadili realitas masyarakat. Banyak sudah pelaku dan pejuang emansipasi di Papua yang dibantai. Katakan Ferry Awom, Arnold Ap., Dr. Thomas Wanggai, dan Steven Suripati. Juga berbagai kasus tindakan kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia, seperti pembantaian oleh TNI (ABRI) pada 1965 di Manokwari, pada 1968 di Sorong, pada 1977 di Jayawijaya, pada 1984 dan 1988 di Sarmi (Jayapura), pada 1977 dan 1986 (peristiwa Timika), pada 1989 di Mapenduma (Puncak Jaya), pada 1998 (pembunuhan di Biak dan Abepura), danyang masih aktualpada pertengahan Agustus 2000 lalu di Sorong, yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga masyarakat di halaman Gereja Immanuel Boswezen. Kejadian-kejadian pembunuhan dan pembantaian pejuang emansipasi di Papua serta berbagai bentuk kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat TNI (ABRI) dan kepolisian memberikan isyarat bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki kemauan dan "iktikad baik" kepada rakyat Papua untuk menumbuhkan dan mengembangkan identitas "kepapuaannya". Dengan perkataan lain, tidak adanya peluang dan kesempatan yang kondusif yang diberikan pemerintah Indonesia dan aparat keamanannya kepada rakyat Papua untuk mengekspresikan dan mengartikulasikan "identitas kulturalnya" justru menjadi faktor mendasar bagi rakyat di wilayah ini untuk tidak merasa menjadi "orang Indonesia". Fakta aktual dewasa ini menunjukkan masyarakat Papua telah tiba pada fase yang paling akhir, dan merata di berbagai lapisan masyarakat, untuk secara "kreatif" berusaha menggunakan identitasnya sendiri. Seperti penyebutan nama "Papua", bendera Bintang Kejora, dan lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, sebagai manifestasi dari nasionalisme Papua. Pada dataran ini, ideologi subyektivitas keindonesiaan telah "dirusakkan" sendiri oleh praktek dan kenyataan pragmatisme empiris pelaksanaan pembangunan dan pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh Indonesia. Artinya, kesadaran subyektif masyarakat Papua menyangkut proses kepapuaannya. Proses kepapuaannya adalah "identitas, jati dirinya", yang pada akhirnya melahirkan kesadaran tentang identitas dirinya sebagai bagian dari suatu kesatuan yang khas, sebagai "orang Papua". Permasalahannya, bagaimanakah Indonesia mau berupaya meletakkan dan memosisikan identitas "kepapuaan" dalam "keindonesiaan" secara tepat dan benar dalam konteks keindonesiaan. Sehingga orang Papua tidak kehilangan jati dirinya, tidak termarginalisasi dari akar kulturalnya, dan pada saat yang sama tidak merasa menjadi "orang lain" dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |