Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi Hikmat *)
*) Staf pengajar FE-UI dan senior economist di sebuah perusahaan sekuritas
SECARA analitis, Muhammad "Dede" Chatib Basri (TEMPO, 6 Agustus 2000) berusaha keras membabat persepsi populer yang monoton mewahidkan "faktor politik" di balik kebinalan rupiah. Dede mengkhawatirkan, kecenderungan "menyederhanakan" kompleksitas pergerakan rupiah hanya ke dalam "faktor politik" bakal menumpulkan pemikiran yang melahirkan kebijakan yang tidak efektif. Namun, semoga saja Dede tidak lupa bahwa model vector auto-regression (VAR) yang digunakannya untuk mencermati dinamika kointegrasi antara mata uang regional juga merupakan "penyederhanaan" yang bersifat adhoc. Sebabnya, pendekatan VAR umumnya lebih menekankan pada gejala (symptom) ketimbang dinamika sistemis, baik internal maupun eksternal, yang menyebabkan gejolak nilai tukar.
Bila gejolak nilai tukar ditamsilkan sebagai jerawat yang mencoreng keelokan wajah perawan, metode VAR berkeyakinan bahwa fenomena berjangkitnya jerawat di kalangan perawan merupakan peristiwa yang saling berhubungan. Desi berjerawat karena adiknya, Ratna, dan teman kuliahnya, Sari, juga berjerawat. Metode VAR berisiko menampik terjadinya jerawat akibat faktor ketidakseimbangan hormonal, stres, pola makan yang tidak sehat, di samping tentunya kondisi lingkungan eksternal. Jerawat yang diakibatkan faktor-faktor ini, tentu saja, tidak gampang sembuh hanya dengan mengulaskan salep. Model VAR Dede sebaiknya dimodifikasi dengan lebih melibatkan faktor fundamental-struktural seperti yang disarankan kaum monetarist. Apalagi nubuat mereka dalam meramalkan terjadinya krisis nilai tukar erbilang teruji. Dengan demikian, evaluasi terhadap pengaruh "faktor politik" dapat dilakukan dengan lebih sistematis, kritis, dan elegan. "Faktor politik", termasuk reputasi pemerintah, memegang peran ganda: sebagai "pemicu krisis" (shocks) atau "serum melawan krisis" (policy response function). Kerja instrumen kebijakan (policy instrument) dan efektivitasnya (credibility) dapat ditelusuri melalui bekerjanya mekanisme koreksi terhadap kesalahan (error correction mechanism). Kaum monetarist memandang dunia sebagai sistem tertutup yang terdiri dari sejumlah perekonomian nasional yang terbuka dan saling berkaitan melalui nilai tukar. Negara diinterpretasikan sebagai region dalam perekonomian dunia yang tertutup. Masalah seperti inflasi yang terjadi di suatu negara adalah manifestasi lokal yang seutuhnya dari fenomena agregat di dalam mendistribusikan money stock dunia. Inflasi dan depresiasi hanya terjadi pada region yang mengalami pertumbuhan money stock yang relatif tinggi ketimbang pemanfaatannya. Ketidakseimbangan hormonal moneter, berupa kesenjangan pertumbuhan antara sektor riil dan moneter, sesungguhnya telah lama terjadi di Indonesia. Hal ini terekam baik pada penurunan velocity of broad money, yakni nisbah (ratio) antara produk domestik bruto (indikator sektor-sektor riil) dan jumlah uang beredar M2 (indikator sektor moneter). Penurunan persisten velocity, yang terutama terjadi sejak 1983 dan 1988 melalui liberalisasi perbankan, menyimpulkan selama ini perekonomian telah menciptakan likuiditas rupiah yang lebih besar ketimbang pemanfaatannya. Sudah sewajarnya, bila penawaran lebih besar dari permintaan, kurs rupiah terdepresiasi. Namun, depresiasi yang terjadi tidak memadai akibat pemerintah, yang pada periode itu membiayai pembangunan dengan utang luar negeri, mematok depresiasi melalui intervensi untuk meringankan beban bunga dan cicilan utang. Bagaikan pola makan yang tidak sehat yang menyuburkan jerawat, inkonsistensi antara managed floating exchange rate policy dan development financing through external debt tersebut melestarikan moral hazard yang mengundang krisis. Jerawat yang muncul masih bisa ditutupi dengan bedak pertumbuhan ekonomi yang memberikan keyakinan utang itu masih bisa dibayar. Penurunan velocity terjadi juga di negara jiran termasuk Jepang, sehingga tidak ada kesadaran regional bahwa krisis sedang menyelinap. Laku puas diri yang melalaikan itu semakin tidak disadari akibat tanggapan positif terhadap kinerja ekonomi Asia Tenggara yang sering diberikan oleh institusi multilateral seperti IMF dan World Bank. Di kolong langit pada saat itu hanya Amerika Serikat dan Swiss yang trend velocity-nya positif. Artinya, sudah tercapai efisiensi sistem moneter ketika peningkatan jumlah uang beredar mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Rupiah semakin over-valued akibat faktor eksternal, terutama di awal 1994 saat maxi devaluasi yuan Cina (kompetitor Indonesia lapis bawah), dan di pertengahan 1995 saat melemahnya secara drastis yen Jepang (kompetitor lapis atas). Surplus perdagangan internasional, sebagai pendulang devisa secara riil, terus tertekan akibat over-valued nilai tukar mengikis daya asing. Posisi rupiah tertolong oleh peningkatan arus modal asing jangka pendek (utang) yang malah membuat rupiah semakin over-valued. Jangan dimungkiri, selama periode rupiah over-valued, kita berlimpah kenikmatan: bahan baku dan mesin impor tersedia murah, kebijakan industri strategis berteknologi tinggi mendapat dukungan angin, artis bisa sering shopping di luar negeri, hingga jemaah haji membeludak. Pesta harus berakhir, daya tahan pagu nilai tukar ada atasnya, dan utang luar negeri harus dibayar. Lonjakan drastis nilai tukar rupiah yang terjadi mulai Juli 1997 adalah saat rupiah harus menemukan harga dirinya. Jerawat sudah menyebar dengan ganas dan hanya menyisakan sedikit wilayah terbebas di paras perawan yang semakin gundah. Volatilitas mata uang selama dua dekade terakhir juga dipicu oleh globalisasi kapitalisme dan ekspansi ekonomi Amerika Serikat yang telah terjadi lebih dari 110 bulan terakhir. Sesuai dengan postulat Sir Isaac Newton, gaya tarik menarik antara dua benda berbanding lurus dengan massa keduanya dan berbanding terbalik kuadratis dengan hambatan jarak. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi telah memangkas hambatan jarak dan batas antarperekonomian. Transformasi dari negara sosialis-komunis menjadi kapitalis meningkatkan permintaan terhadap dolar. Sementara itu, ekspansi Amerika Serikat telah menimbulkan polarisasi arus modal menuju negeri Paman Sam itu, terutama melalui pasar modalnya. Tidak semua negara mampu meningkatkan suku bunga dolar untuk menahan arus modal keluar. Negara tersebut harus menerima pelemahan mata uangnya, terutama bila kelangkaan pasokan valas tidak diimbangi dengan kemampuan mengerem ekspansi jumlah uang beredar setempat, kecuali kalau negara tersebut mampu membatasi konversi mata uang (currency substitution) dan pelarian modal (capital outflow). Meski suku bunga deposito dolar di Indonesia (5,2 persen) lebih rendah ketimbang Amerika Serikat (6,5 persen), perlu diingat kita bukan juru kunci. Jiran kita Filipina hanya mampu menyediakan 2,2 persen. Disparitas suku bunga dolar inilah salah satu penyebab ekonomi yang menyebabkan eksportir enggan merepatriasi surplus perdagangan. Petinggi BI semua tahu, seperti yang beberapa waktu lalu dilansir oleh Anwar Nasution, rupiah bisa saja menjadi monster. Sebab, uang tidak hanya diperlukan untuk transaksi, tetapi juga untuk penyimpan kekayaan store of value). Nilai aset rupiah merosot secara internal melalui inflasi dan eksternal melalui depresiasi. Diversifikasi portofolio, yakni upaya investor mengubah komposisi penempatan aset untuk meningkatkan nilai portofolio, meningkatkan gejolak rupiah bila yang terjadi adalah currency substitution dan capital outflow. Prediksi paranormal Gendeng Pamungkas pada awal 1999, yang menaksir kurs rupiah melemah hingga paras Rp 20 ribu, secara akademik beralasan apabila kita membagi jumlah uang beredar M2 dan cadangan devisa saat itu. Disadari atau tidak, mungkin karena "petinggi politik" kita saat itu sedang mengalami stres, monster rupiah sesungguhnya telah dibesarkan melalui kebijakan penyaluran BLBI, ketika krisis nilai tukar mulai merambah menjadi krisis perbankan. Jumlah likuiditas semakin melonjak melalui akumulasi pendapatan bunga deposito. Bayangkan, sejak krisis terjadi hingga sekarang, posisi jumlah uang beredar M2 naik lebih dari 100 persen. Sementara itu, pemulihan kegiatan bisnis (PDB) belum cukup memuaskan sehingga velocity of money terus menurun. Hal ini menyiratkan risiko pelemahan rupiah secara struktural masih besar. Inverted yield curve, yakni suku bunga jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang, di masa lalu telah menyebabkan dana masyarakat terkonsentrasi pada deposito bertenor pendek. Konsentrasi terburuk terjadi saat kampanye pemilu April 1999, ketika sekitar 78 persen (Rp 247 triliun) dana deposito rupiah bermukim di dalam tenor 1 bulan meski suku bunganya menurun. Saat ini, sebagian dana tetap saja terkonsentrasi di tenor pendek meski suku bunganya tidak menawan lagi. Ini bukti tak terbantahkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional belum pulih sepenuhnya! Sementara itu, nisbah dana valas di dalam bentuk giro terhadap deposito terus meningkat. Artinya, dana valas itu siap kabur! Disparitas suku bunga dolar dalam dan luar negeri bisa jadi alasan ekonomi. Namun, kenaikan proporsi giro valas yang demikian pesat sejak April 2000 tidak diragukan lagi dipicu oleh "faktor politik". Terbatasnya alternatif investasi keuangan mendorong diversifikasi portofolio yang terjadi kurang produktif karena tidak mendorong terjadinya intermediasi keuangan. Pencairan deposito berjangka (daya beli potensial), yang dipicu oleh suku bunga yang tidak menawan, terarah menjadi uang kas yang memicu inflasi dan valas yang melemahkan rupiah. Di sini kita tidak perlu lagi bicara tentang jerawat, karena si dara mungkin sudah tidak menarik lagi. Struktur likuiditas rupiah dan valas di atas sesungguhnya lebih sensitif terhadap guncangan "faktor politik" yang menyeret bangsa ini pada pusaran krisis tak berujung. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |