Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Syafi'i Ma'arif *)
*) Ketua PP Muhammadiyah
PEMBICARAAN tentang Piagam Jakarta kembali marak sejak beberapa bulan lalu, dan klimaksnya terjadi dalam sidang tahunan MPR 2000 dengan dipelopori oleh partai Islam. Sekiranya dibawa ke rapat pleno, usul itu tidak akan mendapat dukungan mayoritas. Tetapi pihak pengusul tetap bersemangat. Demi pelurusan sejarah, kata mereka. Sebagai sebuah wacana, isu tentang Piagam Jakarta sebenarnya tidak perlu diributkan, karena hal itu sah-sah saja. Namun, isu Piagam Jakarta telah dijadikan komoditi politik yang kurang bertanggung jawab oleh politisi kita.
Alasannya, karena kalau tujuh atau delapan perkataan yang menjadi ciri khas Piagam, yaitu ''dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya", sebagai pengiring sila Ketuhanan dicantumkan dalam Pasal 29 UUD 1945, pasti dalam implementasinya ia akan menemui kesulitan yang tidak keci1. Perkataan ''kewajiban" sudah tentu memuat perintah yang wajib dilaksanakan oleh setiap pemeluk Islam. Pasal ini jelas emerlukan tangan kekuasaan untuk merumuskan sebuah undang-undang bagi pelaksanaan syariat Islam itu. Kalau tidak hati-hati, ia dapat menjadi bumerang bagi citra Islam di masa datang. Dari kacamata agama, melaksanakan syariat bagi umat Islam memang sebuah kewajiban. Persoalannya, perlukah perintah wajib itu dicantumkan dalam undang-undang dasar? Bukankah melalui Pasal 29 terbuka peluang lebar bagi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya seluas dan sebebas mungkin? Salah satu bentuk konkretnya adalah disahkannya Undang-Undang Zakat sewaktu A. Malik Fadjar menjabat Menteri Agama dalam kabinet B.J. Habibie. Satu hal yang kurang dipikirkan oleh para pengusul adalah kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang sangat heterogen dalam melaksanakan syariat sehari-hari. Sebutlah kewajiban harian atau tahunan seperti salat dan puasa. Berapa persen umat Islam yang benar-benar menjalankannya? Apakah bila tujuh atau delapan perkataan itu sudah tercantum dalam UUD, kita perlu membentuk polisi salat dan polisi puasa untuk mengawasi umat yang belum melakukannya? Tidakkah diperhitungkan kemungkinan umat Islam yang belum merasa santri akan lari mencari agama lain yang dianggapnya lebih ringan? Jelas, kalau kenyataan itu menjadi masa depan kita, akibatnya akan sangat fatal bila ditinjau dari segi dakwah. Mayoritas kuantitatif dapat berubah jadi minoritas kuantitatif. Sudahkah semua risiko ini didiskusikan secara mendalam oleh ahli agama yang menjadi narasumber pihak pengusul? Belum kita bicara soal zakat dan masalah-masalah lain yang lebih besar, seperti masalah politik, ekonomi, sosial, dan iptek. Terhadap persoalan-persoalan besar itu, apakah kita sudah menyiapkan perangkat lunak dan bingkai syariat yang kokoh? Mengapa sebagian kita masih saja terpaku dan terpukau oleh bentuk, bukan oleh substansi; oleh kulit, dan bukan oleh isi? Pesan Bung Hatta yang sudah berkali-kali saya kutip tetap relevan dalam pembicaraan ini. ''Pakailah filsafat garam, tak tampak tapi terasa. Janganlah pakai filsafat gincu, tampak tapi tak terasa." Yang diinginkan Bung Hatta adalah agar nilai-nilai Islam dapat menggarami kehidupan budaya bangsa, hingga akhlak mulia dan keadilan dapat ditegakkan secara nyata, bukan dalam format retorika politik yang tidak bertanggung jawab. Tegaknya keadilan dalam masyarakat dalam perspektif Alquran adalah penjabaran tauhid di muka bumi. Kita berharap bahwa sejarah modern Indonesia akan bergerak ke arah tujuan strategis yang menggarami ini, bukan hanya terlihat dalam bentuk-bentuk simbol dan ritual yang sering kali menyesatkan. Para politisi muslim perlu memahami kondisi psiko-sosiologis bangsa ini dengan jeli dan akurat. Di atas sudah disinggung bahwa sebagai wacana, masalah Piagam Jakarta dapat saja dibicarakan, tetapi harus mendalam, komprehensif, dan dilakukan oleh mereka yang punya otoritas dalam wacana Islam klasik dan kontemporer. Politisi yang tidak punya otoritas dianjurkan menjadi pendengar yang baik dalam pembicaraan itu. Dalam Alquran terdapat ungkapan al-rasikhuna fi `l-ilm (s. III: 7 dan s. IV: 162) yang bermakna ''mereka yang luas dan dalam ilmu pengetahuannya". Al-rasikhun berasal dari akar kata r s kh, yang mengandung pengertian antara lain berakar dalam, kukuh, stabil, dan kenal betul. Karena itu, mari kita prakarsai sebuah diskusi mendalam dengan mengundang para pakar tentang masalah Piagam Jakarta ini, hingga umat paham betul duduk persoalannya, tidak mudah menghukum orang yang dinilai tidak atau kurang sepaham dengan retorika politik yang sering dilontarkan oleh para politisi kita. Sisi lain yang juga harus dipertimbangkan adalah masalah waktu. Apakah pada saat bangsa ini masih keteteran diterpa krisis multidimensional, isu-isu yang dapat menambah beban psikologis kita, seperti usul perubahan Pasal 29 UUD 1945, ''demi iman dan pelurusan sejarah" cukup arif untuk dilontarkan? Tidakkah dipertimbangkan secara jernih kemungkinan terjadinya polarisasi horizontal yang tajam dalam masyarakat, tidak saja antara umat yang berbeda agama, tetapi bahkan di kalangan internal kaum muslimin sendiri? Tengok saja saudara kita bangsa Pakistan, yang telah mendeklarasikan sebuah republik Islam sejak 1947. Nyatanya, dalam masalah korupsi, kondisi masyakatnya hampir sama buruknya dengan kita. Dengan kata lain, sebuah simbol legal-formal-konstitusional belum tentu dapat menolong keadaan jika mental para elite politik dan rakyat yang menduduki posisi strategis itu telah terkontaminasi oleh virus-virus jahat, korup, dan mudah menjual ayat-ayat Tuhan. Karena itu, dalam Alquran s. LIX: 3 kita baca: fa'tabiru ya uli `l-abshar (ambillah ikhtibar wahai orang yang punya penglihatan tajam). Allahu a'lam! Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |