LINI melompat masuk ke kantin. Lini mau apa? Yang ini? Yang itu?
Dia minta minuman dingin dan coklat dan kuweh. Saya hitung uang
dan siap membayar. Langsung saja muka Lini jadi masam dan
matanya seakan menantang "Oom ini mau apa-apaan?" Dia rogoh
uangnya sendiri dan menyorongnya ke tangan pelayan. Wah wah. Ini
perempuan molek umur sepuluh tahun ditraktir oom tidak mau ya!
Sejam kemudian Lini melompat ke depan saya dan menawarkan satu
lukisannya kepada saya, boleh pilih yang mana saja, katanya.
Terang goblok kalau saya menolak maka saya pilih, begitu kan?
Eh. muka Lini mendadak asem lagi. Dia tidak mau memberikan
pilihan saya. Kan bisa jadi pusing menghadapi gadis seperti ini.
Saya angkat tangan dan lapor kepada ayahnya. Itu artinya saya
harus pilih lukisan lain, begitu analisanya. Dan memang begitu.
Terima kasih, Lini!
Maka sabarlah kalau ketemu orang luar biasa. Sekali tempo musti
ada apa-apanya yang bikin kaget. Penghargaan saya kepada Lini
tentu meningkat. Ini anak tahu mana ciptaannya yang maha penting
isinya "cuma" fantasi garis-garis absrak saja -- dan dia tidak
mau melepaskannya.
Tanggal 25 Desember yang lalu Nataliniwidhiasi jadi sebelas
tahun, dan hari sebelumnya baru menutup pamerannya yang kedua
kali di Bali. Bukan sekedar di taman kanak-kanak saja, tapi di
wisma seni paling top. "Terang bukan anak ini yang melukis",
ulas I Gusti Nyoman Lempad. "Tangannya digerakkan oleh kekuatan
di luar dirinya Lini hanya perantara saja". Mana anak bisa
mengerti ucapan begini. "Pak Lempad kan lihat sendiri yang
melukis itu tangan saya sendiri!"
Pemenang medali perak pada Shankar's Interntional Children's
Competition ini (tahun 1973) tak urung mengkhawatirkan banyak
orang tua dan seniman. Masih anak kok sudah lebih dari sepuluh
kali pameran tunggal, dan saban ikut lomba gambar kok menang
saja, dan pengagumnya kok seniman-seniman puncak. Ini tentu anak
yang bukan anak, bisik mereka, dan karena itu mencurigakan,
bukan? Coba Lini ditanyai saja.
Lini suka main-main apa tidak? Ya suka. Lini suka main-main
dengan boneka? Ndak seneng. Main-main apa dong'? "Ya melukis itu
main-main saya, gitu lo!" Ini namaya jawaban K.O., bikin pingsan
semua penanya. Lalu sejak umur berapa Lini suka melukis?
"Umurnya ndak tahu. Tapinya kalau kelasnya tahu. Kelas noool".
Bukan di sini konyolnya. Dia tidak mulai dengan potelot atau
sabak, tapi dengan pastel dan tinta. Dia mulai secara garisi
(linear) dan hingga sekarang watak lukisannya tetap garisi, hal
mana lagi-lagi membingungkan sementara juru teori lukisan anak.
Dik Lini, kalau menggambar apa yang digambar? "Ya yang ada dalam
pikiran saya. Dan waktu mulai menggambar belum terpikir apa-apa
Iho. Lantas misalnya saya mau nggambar kapal. Tapi di tengah
jalan kapalnya kok seperti bebek. Lalu saya teruskan jadi bebek
saja. Gitu lho". Ya memang gitu, tapi ibu guru bisa pusing nih,
Lini.
Ketika saya menyebut kata "jenius" atau adimampu, maka sementara
orang gede pada resah. Mereka ingin lihat Lini "wajar" saja
seperti anak-anak lain. Memperlihatkan "kemurnian anak".
begitulah istilah teka-tekinya. Ada yang meramal bahwa
keistimewaan Lini sebentar lagi bakal hilang jadi dia tidak
perlu diributkan. Ada yang curiga, sebab ayah Lini ternyata
pelukis juga, jadi terang Lini "tidak murni", begitu katanya.
Kita tidak tahu berapa banyak anak adimampu di Indonesia ini.
Tapi banyak di antaranya boleh jadi sudah "diwajarkan" oleh
orang-orang yang menganggap keadimampuan itu sebagai momok,
keanehan, keganjilan, kesintingan, ataupun bahaya sosial. Ini
cerita lama. Balzac dipaksa oleh orang tuanya dengan kekerasan
selama lima tahun supaya dia mau jadi ahli hukum. Coleridge
diharuskan ayahnya supaya jadi pendeta. Entah bagaimana akan
jadinya kalau ayah tidak keburu mati. Pamannya yang kemudian
menjadi pengasuhnya dengan tepat melihat adanya jenius sastera
dalam diri anak ini. Isaac Newton bakal jadi penggembala dan
petani seumur hidupnya seandainya remaja itu tidak jumpa dengan
pamannya. Sang paman ini melihat adanya jenius dalam diri
Newton, maka Newton dipertemukan dengan sarjana-sarjana ilmu
alam, dan "lahirlah" jenius, katanya. Seakan tadinya Newton itu
anak "wajar". Walter Scott itu anak goblok, kata semua orang.
Umur tujuh tahun kok sudah baca semua sajak, umur sepuluh kok
sudah punya perpustakaan pribadi, dan umur tigabelas kok sudah
habis baca Shakespeare. Anak pintar seharusnya baca cerita
kancil dan bawang-merah-bawang-putih dan buku-buku yang penuh
gambar tapi sedikit tulisan. Faraday jadi kacung pada pedagang
buku. Kalau jadi pengemis, mana bisa dia kebetulan baca tulisan
tentang listrik'? Popo Iskandar bisa-bisa jadi tukang listrik
atau perancang bangunan yang jelek seandainya pada masa mudanya
dia tidak membangkang malah belajar melukis. Melihat beberapa
contoh di atas, mana ada orang yang "jadi jenius" secara murni
tanpa pengaruh? Kita cuma lihat anak-anak yang dapat pengaruh
baik atau jelek, yang diorbitkan atau ditindas.
Kita juga melihat anak yang membangkang, seperti Pascal yang,
dilarang ayahnya belajar matematika tapi secara diam-diam terus
menekuni matematika. Atau Victor Hugo yang disuruh melupakan
sastera saja, atau pilih hidup di selokan. Victor memilih
selokan, dan sastera.
Di sekitar kita juga banyak anak berbakat, tapi malasnya dan
sombongnya luar biasa. Kemarin baru mulai, dan hari ini sudah
mau masyhur dan ongkang kaki.
Dik Lini paling suka makanan apa? Jawabnya tegas: "Pecel!" Wah
aneh. Seharusnya kan bakso.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini