Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Nataliniwidhiasi

Pelukis cilik nataliniwidhiasi, pemenang medali perak pada shankar's international children's competition pada th 1973. watak lukisannya yang garisi (li near), membingungkan juru teori lukisan anak.

31 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LINI melompat masuk ke kantin. Lini mau apa? Yang ini? Yang itu? Dia minta minuman dingin dan coklat dan kuweh. Saya hitung uang dan siap membayar. Langsung saja muka Lini jadi masam dan matanya seakan menantang "Oom ini mau apa-apaan?" Dia rogoh uangnya sendiri dan menyorongnya ke tangan pelayan. Wah wah. Ini perempuan molek umur sepuluh tahun ditraktir oom tidak mau ya! Sejam kemudian Lini melompat ke depan saya dan menawarkan satu lukisannya kepada saya, boleh pilih yang mana saja, katanya. Terang goblok kalau saya menolak maka saya pilih, begitu kan? Eh. muka Lini mendadak asem lagi. Dia tidak mau memberikan pilihan saya. Kan bisa jadi pusing menghadapi gadis seperti ini. Saya angkat tangan dan lapor kepada ayahnya. Itu artinya saya harus pilih lukisan lain, begitu analisanya. Dan memang begitu. Terima kasih, Lini! Maka sabarlah kalau ketemu orang luar biasa. Sekali tempo musti ada apa-apanya yang bikin kaget. Penghargaan saya kepada Lini tentu meningkat. Ini anak tahu mana ciptaannya yang maha penting isinya "cuma" fantasi garis-garis absrak saja -- dan dia tidak mau melepaskannya. Tanggal 25 Desember yang lalu Nataliniwidhiasi jadi sebelas tahun, dan hari sebelumnya baru menutup pamerannya yang kedua kali di Bali. Bukan sekedar di taman kanak-kanak saja, tapi di wisma seni paling top. "Terang bukan anak ini yang melukis", ulas I Gusti Nyoman Lempad. "Tangannya digerakkan oleh kekuatan di luar dirinya Lini hanya perantara saja". Mana anak bisa mengerti ucapan begini. "Pak Lempad kan lihat sendiri yang melukis itu tangan saya sendiri!" Pemenang medali perak pada Shankar's Interntional Children's Competition ini (tahun 1973) tak urung mengkhawatirkan banyak orang tua dan seniman. Masih anak kok sudah lebih dari sepuluh kali pameran tunggal, dan saban ikut lomba gambar kok menang saja, dan pengagumnya kok seniman-seniman puncak. Ini tentu anak yang bukan anak, bisik mereka, dan karena itu mencurigakan, bukan? Coba Lini ditanyai saja. Lini suka main-main apa tidak? Ya suka. Lini suka main-main dengan boneka? Ndak seneng. Main-main apa dong'? "Ya melukis itu main-main saya, gitu lo!" Ini namaya jawaban K.O., bikin pingsan semua penanya. Lalu sejak umur berapa Lini suka melukis? "Umurnya ndak tahu. Tapinya kalau kelasnya tahu. Kelas noool". Bukan di sini konyolnya. Dia tidak mulai dengan potelot atau sabak, tapi dengan pastel dan tinta. Dia mulai secara garisi (linear) dan hingga sekarang watak lukisannya tetap garisi, hal mana lagi-lagi membingungkan sementara juru teori lukisan anak. Dik Lini, kalau menggambar apa yang digambar? "Ya yang ada dalam pikiran saya. Dan waktu mulai menggambar belum terpikir apa-apa Iho. Lantas misalnya saya mau nggambar kapal. Tapi di tengah jalan kapalnya kok seperti bebek. Lalu saya teruskan jadi bebek saja. Gitu lho". Ya memang gitu, tapi ibu guru bisa pusing nih, Lini. Ketika saya menyebut kata "jenius" atau adimampu, maka sementara orang gede pada resah. Mereka ingin lihat Lini "wajar" saja seperti anak-anak lain. Memperlihatkan "kemurnian anak". begitulah istilah teka-tekinya. Ada yang meramal bahwa keistimewaan Lini sebentar lagi bakal hilang jadi dia tidak perlu diributkan. Ada yang curiga, sebab ayah Lini ternyata pelukis juga, jadi terang Lini "tidak murni", begitu katanya. Kita tidak tahu berapa banyak anak adimampu di Indonesia ini. Tapi banyak di antaranya boleh jadi sudah "diwajarkan" oleh orang-orang yang menganggap keadimampuan itu sebagai momok, keanehan, keganjilan, kesintingan, ataupun bahaya sosial. Ini cerita lama. Balzac dipaksa oleh orang tuanya dengan kekerasan selama lima tahun supaya dia mau jadi ahli hukum. Coleridge diharuskan ayahnya supaya jadi pendeta. Entah bagaimana akan jadinya kalau ayah tidak keburu mati. Pamannya yang kemudian menjadi pengasuhnya dengan tepat melihat adanya jenius sastera dalam diri anak ini. Isaac Newton bakal jadi penggembala dan petani seumur hidupnya seandainya remaja itu tidak jumpa dengan pamannya. Sang paman ini melihat adanya jenius dalam diri Newton, maka Newton dipertemukan dengan sarjana-sarjana ilmu alam, dan "lahirlah" jenius, katanya. Seakan tadinya Newton itu anak "wajar". Walter Scott itu anak goblok, kata semua orang. Umur tujuh tahun kok sudah baca semua sajak, umur sepuluh kok sudah punya perpustakaan pribadi, dan umur tigabelas kok sudah habis baca Shakespeare. Anak pintar seharusnya baca cerita kancil dan bawang-merah-bawang-putih dan buku-buku yang penuh gambar tapi sedikit tulisan. Faraday jadi kacung pada pedagang buku. Kalau jadi pengemis, mana bisa dia kebetulan baca tulisan tentang listrik'? Popo Iskandar bisa-bisa jadi tukang listrik atau perancang bangunan yang jelek seandainya pada masa mudanya dia tidak membangkang malah belajar melukis. Melihat beberapa contoh di atas, mana ada orang yang "jadi jenius" secara murni tanpa pengaruh? Kita cuma lihat anak-anak yang dapat pengaruh baik atau jelek, yang diorbitkan atau ditindas. Kita juga melihat anak yang membangkang, seperti Pascal yang, dilarang ayahnya belajar matematika tapi secara diam-diam terus menekuni matematika. Atau Victor Hugo yang disuruh melupakan sastera saja, atau pilih hidup di selokan. Victor memilih selokan, dan sastera. Di sekitar kita juga banyak anak berbakat, tapi malasnya dan sombongnya luar biasa. Kemarin baru mulai, dan hari ini sudah mau masyhur dan ongkang kaki. Dik Lini paling suka makanan apa? Jawabnya tegas: "Pecel!" Wah aneh. Seharusnya kan bakso.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus