Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARANGKALI ini sangat karikatural. Bayangkan kita seorang pengamat seni, mencoba memahami perkembangan tari kontemporer Indonesia. Maka slogan “jogetin aja” dari kandidat nomor 2 dalam pemilihan presiden ini sebenarnya menonjok keras. Tak cuma meninju mereka yang merasa ajakan adu gagasan malah dilecehkan dengan goyang gemoy, juga bagi kalangan budaya yang percaya seni berhubungan erat dengan politik. Hubungan macam apa? Itu jadi perlu dirumuskan ulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
November lalu, di sebuah kedai kopi, seorang lelaki penari memasuki area makan dengan langkah pelan. Ia duduk di kursi pengunjung sejenak, tanpa senyum atau kata, menyebabkan orang bertanya-tanya. Ia berdiri dan berjalan lagi menuju area tengah. Lalu tubuhnya mulai bergoyang dan bergetar. Makin lama makin intens. Penari itu Safrizal. Koreografinya berjudul Tarekat Kopi, yang diilhami gerakan tarekat mistik Qadiriyah yang ia ikuti, serta kebiasaan orang yang ia amati di kedai kopi di Aceh. Pementasan ini bagian dari Jakarta International Contemporary Dance 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seni kontemporer selalu punya dorongan melintas batas. Semisal, pergi dari panggung teater ke ruang publik. Menyapa warga kota yang tak dikenal. Ini bukan tanpa risiko. Ia bisa saja mendekatkan seni dengan publik secara fisik, tapi belum tentu secara pemahaman. Pelayan, juru masak, tamu-tamu yang tak siap; mereka mungkin tak mengerti apa yang dilakukan si penari.
Sementara itu, sejak Agustus, tepatnya sejak Prabowo Subianto resmi berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden-calon wakil presiden, slogan “jogetin aja” menguar (diambil dari judul lagu penyanyi Denada). Seolah-olah bagian dari strategi, segala kritik yang diarahkan kepada Prabowo ditanggapi dengan joget. Fitnah, hoaks? Jogetin aja. Diejek, difitnah, dijelekin, jogetin aja. Begitu bunyi baliho kampanye. Yang tidak ditulis: gugatan tentang penghilangan aktivis di masa lalu yang jadi tanggung jawabnya pun dianggap sekadar gonggongan, dan kafilah berjoget.
Kita berhadapan dengan pemaknaan tari dan joget. Secara umum dan tradisional, tari adalah seni yang tak sekadar menghibur, sekalipun bisa saja menghibur. Joget menyiratkan kegembiraan dan ketidakseriusan. Tari melakukan pencarian tentang apa yang indah. Joget tidak mencari yang indah, juga tak mencari yang benar. Ia semata-mata keriaan.
Tak ada yang salah dengan keriaan dan ketidakseriusan. Apalagi jika kita berjoget di pasar malam atau kelab, dengan musik dangdut, hiphop, apa pun, untuk melupakan yang serius dan sejenak bersukaria. Tapi jika joget menjadi politik? Apakah itu sekadar gimik dan bukan “gagasan” politik yang sesungguhnya?
Seandainya kita pengamat seni, kita pun masygul. Dua hal yang sudah lama tak dipikirkan lantaran dianggap terlampau jelas kini jadi harus dipikirkan: beda tari dan joget dalam dunia kontemporer. Dalam sejarahnya di Barat, tari kontemporer muncul sebagai perlawanan terhadap tari modern. Sebelumnya, tari modern muncul sebagai perlawanan terhadap tari klasik. Di sini ada rantai dialektika. Tesis dilawan antitesis.
Meski begitu, kata “modern” ataupun “kontemporer” sebenarnya punya arti sama, yaitu yang kini. Ketika seni dan pemikiran “kontemporer” muncul, ia menganggap yang “modern” sebagai terbelakang. Ia lebih kini daripada yang dulu kini. Maka kita tidak bisa memaknai “modern” dan “kontemporer” semata sebagai penanda waktu. Kontemporer harus dimaknai sebagai suatu sifat yang mengkritik sifat yang dominan pada seni dan pemikiran modern.
Lantas, apakah sifat dominan pada seni modern yang dikritik itu? Di sini kita bisa masuk ke dalam sejarah pemikiran seni di Indonesia. Di tahun 1950-an mulai muncul perdebatan yang memang dipengaruhi pertarungan ideologi Perang Dingin (meski sebaiknya kita jangan membacanya terlampau dikotomis). Seniman kiri mengecam pandangan seni untuk seni, art pour l’art (yang sebetulnya tak dianut kuat di Indonesia). Pemikiran modern punya corak mengagungkan otonomi seni. Itu yang memungkinkan studi seni murni. Efek ekstremnya adalah seni untuk seni.
Di Indonesia, kritik terhadap otonomi seni berlanjut dengan pelbagai corak. Di tahun 60-an dengan polemik Lekra vs Manikebu, di 80-an dengan perdebatan sastra kontekstual, di 90-an diperkaya dengan posmodernisme dan poskolonialisme. Rangkaian pemikiran kritis itu menyatakan dua hal ini. Satu, seni tak terisolasi dari politik. Dan karena itu, dua, hierarki dalam seni harus terus-menerus dibongkar. Suatu joget bisa saja merupakan tari kontemporer, dengan syarat ia dilakukan dalam pencarian seni—tapi ini sesuatu yang tak segera dipahami memang.
Di tengah keadaan tak-segera-paham ini muncullah kampanye politik “jogetin aja”. Kapankah joget betul-betul bukan tari, tradisional ataupun modern? Ketika ia menjadi alat kekuasaan. Kapankah joget bukan kontemporer? Ketika ia tak punya daya kritis. Dalam kampanye “jogetin aja”, lebih dari tak punya, ia menyingkirkan daya kritis. Pelanggaran HAM? Jogetin aja. Kerusakan lingkungan? Jogetin aja. Etika? Ndasmu etik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tari dan Joget"