Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FRASA tegak lurus mewarnai narasi politik menjelang pemilihan presiden 2024. Entah siapa yang pertama kali mengaitkan istilah yang lazim dalam geometri itu dengan ketaatan dan kesetiaan—makna yang tampaknya hendak dibentuk dari siapa pun yang mengucapkannya. Saya menduga asal muasal kelatahan ini adalah baliho sebuah partai politik yang mencetak tulisan besar-besar berbunyi “Tegak Lurus Bersama Pak Jokowi” beberapa waktu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para elite politik kita pun membeo dan ramai-ramai mengucapkan “Saya tegak lurus saja”. Mereka memakainya dalam berbagai kesempatan untuk menasbihkan ketaatan dan kesetiaan terhadap sesuatu: peraturan, perintah, panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), presiden, dan sebagainya. Media kita ramai-ramai mengutip ucapan mereka dan mencetaknya besar-besar pada judul berita utama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Frasa tegak lurus merupakan istilah baku dalam geometri yang menggambarkan dua obyek saling berpotongan dan membentuk sudut siku-siku. KBBI daring mencatat makna tegak lurus sebagai “berdiri tegak membentuk sudut 90 derajat; garis tegak”. Dalam geometri, sudut ini disebut perpendikular—istilah yang muncul pada abad ke-14 yang berarti “berdiri tegak lurus terhadap bidang cakrawala”. Dari penjelasan tersebut, bukankah tegak lurus justru berarti tidak berada pada bidang yang sama?
Dalam konteks politik, kita melihat betapa bahasa di ruang publik bisa bikin runyam praktik berbahasa. Mungkinkah frasa tegak lurus disamakan dengan sami’na wa atho’na? Frasa yang berarti “kami dengar dan kami taat” itu mewakili sikap kepatuhan, kesetiaan, dan keimanan yang tak bisa ditawar-tawar. Ataukah sikap “tegak lurus” itu barangkali sekadar budaya ikut-ikutan yang melanda para elite politik?
Baliho “Tegak Lurus Bersama Pak Jokowi” hanya segelintir dari tontonan citra menjelang kontestasi pemilihan presiden. Ruang publik kita kini telah dipenuhi bermacam citra, gagasan, dan janji pemilihan umum para calon legislator dan calon presiden. Poster mereka bercampur aduk dengan iklan properti, jasa sedot WC, gadai telepon seluler, dan sebagainya. Kita dipaksa menerima semua informasi itu sampai ke dinding-dinding rumah tetangga.
Tak mengherankan bila kemudian Dagenais dan kawan-kawan (2008) menyebut perkotaan sebagai teks, yakni environmental print. Kota sebagai wilayah urban senantiasa penuh dengan ingar-bingar pemakaian bahasa. Hal ini sejalan dengan pendapat Shohamy dan Gorter (2009) bahwa teks-teks tersebut adalah lingkungan, kata, dan citra yang ditampilkan di ruang publik.
Satu hal yang terlupakan adalah bagaimana bahasa di ruang publik juga menjadi sumber pemerolehan bahasa anak-anak kita. Penelitian Gorter dkk. (2021) menyimpulkan bahwa bahasa di ruang publik merupakan media untuk belajar bahasa sekaligus meningkatkan kesadaran berbahasa. Bagi Ben-Rafael dkk. (2006), ruang publik mampu menggambarkan latar belakang dan potret kehidupan sehari-hari dan menjadi sumber pembelajaran bahasa yang bernilai.
Iwan Simatupang dengan baik menggambarkan frasa tegak lurus dalam cerita pendeknya yang berjudul “Tegak Lurus dengan Langit”, seperti pada nukilan berikut: “Tegak lurus dengan langit, ia berdiri di puncak bukit itu. Di kepalanya bulan sabit dari langit sebelum fajar. Di kakinya tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang”. Tampak benar bahwa cerita itu lahir dari logika berpikir yang jernih, bukan asal pinjam istilah agar terdengar keren, apalagi ikut-ikutan agar dicap loyal terhadap aturan dan atasan.
Urusan bahasa barangkali tampak sepele dan tidak mendesak untuk dipikirkan. Tapi hal itu tak menjadikan kita abai pada logis atau tidaknya suatu istilah yang kita gunakan apalagi jika itu menyangkut dampak teks yang tersaji di ruang publik kita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tegak Lurus"