Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikhsan Yosarie
Peneliti SETARA Institute for Democracy and Peace
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam tulisannya di salah satu media cetak nasional, Muladi, Tim Ahli Pemerintah dalam Perumusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menjelaskan bahwa misi utama rancangan itu adalah dekolonialisasi kodifikasi hukum pidana yang usianya sudah lebih dari 100 tahun, yakni sejak 1 Januari 1918, yang secara terstruktur, sistematis, dan masif diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di bumi Nusantara. Pada titik ini, semangat revisi KUHP pada dasarnya tidak ada persoalan dan justru merupakan potret positif political will pemerintah dalam wacana reformasi hukum Indonesia yang patut diapresiasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun persoalan justru muncul lantaran beberapa pasal yang akan direvisi mengandung muatan yang bertentangan dengan semangat dekolonialisasi, bahkan muatannya menjadi neokolonialisasi (kolonialisasi intra-negara) dalam bentuk penjajahan negara atas warga negara. Pasal 432 rancangan itu mengatur bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum didenda paling banyak Rp 1 juta.
Hal ini tidak banyak berubah karena dalam KUHP sebelumnya gelandangan diancam hukuman kurungan penjara 3 bulan. Apabila tindak pidana itu dilakukan secara berkelompok dengan melibatkan orang berusia di atas 16 tahun, hukumannya bertambah menjadi 6 bulan penjara. Dalam proses revisi, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah justru mempertahankan aturan warisan Belanda tersebut, tapi mengganti sanksi penjara dengan denda Rp 1 juta.
Persoalan gelandangan pada pasal ini justru mencerminkan dekolonialisasi setengah hati. UUD 1945 secara terang mengatur bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara. Negara juga harus mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat serta memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Logika yang digunakan salah satu anggota Panitia Kerja Rancangan KUHP ihwal keberadaan pasal 432 tersebut mengarah pada respons negara terhadap persoalan gelandangan yang justru mencerminkan, atau bahkan mengamini, kegagalan negara (state failure) dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Dalam penjelasannya, Arsul Sani menjelaskan bahwa Pasal 432 justru memperkuat tekanan kepada pemerintah untuk memelihara fakir miskin, seperti yang diamanatkan konstitusi. Sebab, jika pasal itu banyak diterapkan, berarti pemerintah justru gagal memelihara fakir miskin. Menurut dia, pasal itu juga mendorong masyarakat tak begitu gampang memilih jalan hidup sebagai gelandangan atau malah menjadikannya sebagai profesi.
Persoalan berikutnya, semangat dekolonialisasi ini juga dicederai muatan otoritarianisme negara terhadap rakyatnya, yakni dalam bentuk anti-kritik terhadap presiden. Dalam rancangan itu tercantum aturan dalam Pasal 218 dan 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pada Pasal 218 disebutkan bahwa setiap orang yang dianggap "menyerang kehormatan" presiden dan wakil presiden bisa dipidana maksimal 3,5 tahun atau denda Rp 150 juta. Pasal 219 menyebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden di depan publik terancam hukuman paling lama 4 tahun 6 bulan atau denda maksimal Rp 150 juta.
Pada 2015 pun pemerintah juga telah berencana menghidupkan kembali Pasal 134, 136, dan 137 KUHP tentang penghinaan terhadap presiden melalui sodoran 786 pasal yang diajukan Presiden Joko Widodo ke DPR untuk menjadi KUHP. Melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pemerintah memasukkan ketiga pasal itu ke rancangan KUHP yang akan dibahas DPR pada masa reses bulan Agustus masa itu.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP. Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis melalui Pemohon Perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 dan Pemohon Perkara Nomor 022/PUU-IV/2006.
MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi. Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal penghinaan presiden tersebut rentan disalahgunakan karena pasal-pasal tersebut tidak menyebutkan secara tegas, pasti, dan terbatas tentang perbuatan apa yang diklasifikasikan sebagai penghinaan. Akibatnya, tentu tidak ada kepastian hukum dan menyebabkan tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa dan aparat hukum. Lebih dari itu, perbuatan apa saja yang menyangkut nama presiden atau wakil presiden dan yang tidak disukai bisa diklasifikasikan sebagai penghinaan yang dianggap melanggar pasal-pasal penghinaan tersebut.