Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Wamenkumham Bilang Membuat RKUHP di Indonesia Tak Mudah, Belanda Butuh 70 Tahun

Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariejy mengatakan pemerintah selalu mendengar kritikan dari masyarakat tentang RKUHP.

23 Juni 2022 | 11.12 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi publik "Penghinaan/ Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP, UU ITE, dan RUU KUHP" di Semarang, Kamis 4 Maret 2021. ANTARA/ I.C.Senjaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan membuat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di masyarakat multietnis dan multikultural seperti Indonesia tidak mudah. Dia mengatakan pasti ada sebagian masyarakat yang setuju dan tidak setuju.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pasti ada tidak puasnya, itu pasti,” kata Eddy panggilan Edward Omar Sharif Hiariej dalam diskusi RKUHP secara daring, Kamis, 23 Juni 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mengatakan penyusunan RKUHP merupakan perjalanan panjang. RKUHP, kata dia, sudah mulai disusun sejak 1958 atau 64 tahun lalu. Dia membandingkan perumusan RKUHP di Belanda. Menurut dia, di Belanda yang masyarakat reltif tidak beragam dibutuhkan waktu 70 tahun untuk membahas aturan tersebut.

“Saya menghibur diri, Belanda yang hanya seluas Jawa Barat saja itu butuh 70 tahun,” kata dia.

Meski demikian, Eddy mengatakan RKUHP merupakan aturan yang harus segera disahkan. Menurut dia, RKUHP yang sekarang menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, ada beragam terjemahan mengenai pasal-pasal yang aslinya berbasa Belanda tersebut. “Tidak hanya rumusan delik, tapi juga pidananya,” kata dia.

Eddy mengatakan pemerintah selalu mendengar kritikan dari masyarakat tentang RKUHP. Dia mengaku telah mengundang sejumlah narasumber untuk menilai aturan-aturan yang terdapat di RKUHP. Dari masukan itu, pemerintah merevisi sejumlah aturan.

Misalnya soal penodaan agama. Pemerintah, kata dia, mengubah rancangan aturan mengenai itu. “Ada perubahan signifikan,” kata dia. Selain itu, ada dua pasal yang dihapus, yaitu tentang advokat curang dan praktek dokter gigi.

Namun, kata dia, ada juga aturan yang menjadi perdebatan, seperti soal kohabitasi atau kumpul kebo. Dia bilang ada sebagian masyarakat yang minta itu dihapus. Tetapi ada juga sebagian masyarakat yang ingin aturan itu menjadi delik umum, sehingga semua orang bisa melaporkannya. Menurut Eddy, dalam situasi tersebut, pemerintah harus mengambil jalan tengah. “Tolong dipahami, tidak bisa semua yang diinginkan kami akomodasi,” kata dia.

Dia mengatakan kelak jika RKUHP sudah disahkan, maka masyarakat yang tidak setuju masih mempunyai cara untuk menggugat. Yaitu melalui Mahkamah Konstitusi. “Pemerintah selalu patuh kok dengan putusan MK,” kata dia.

Baca: Wamenkumham Ungkap Alasan Belum Buka Draf RKUHP ke Publik

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus