SAYA pernah "dikecoh" o1eh Jaya Suprana, presiden direktur Jamu Jago yang juga pemain pianoforte kenamaan. Suatu malam ia tampii bersama seorang pemain biola dan seorang messosopranist (istrinya!) untuk menyajikan beberapa gubahannya. Salah satu ciptaannya itu berjudul Mediasi yang dalam brosur dikomentari: menyajikan unsur paling hakiki dalam musik yang justru sering dilupakan. Ketiga orang itu muncul. Jaya mengetuk lantai dengan ujung sepatu, tu-wa-ga . . . Iho, kok tak ada jreng? Senyap saja. Penjelasannya? Pause atau jeda adalah unsur paling hakiki dalam musik. Tanpa unsur jeda, pasti bakal tak keruan bunyi musiknya. Dan ciptaan Meditasi itu melulu menandun unsur jeda itu. Diam selama satu menit. Untuk sesaat saya merasa terkecoh. Tetapi dalam perjalanan pulang saya berpikir bahwa semestinya saya justru harus berterima kasih. Orang memang sering lupa bahwa jeda merupakan unsur yang tak boleh tidak. Dan Meditasi itu telah mengingatkan saya. Minggu ini saudara-saudara kita yang beragama Hindu Bali merayakan Nyepi. Sekalipun dalam kalender disebut sebagai hari raya, hari itu sendiri tidak ditandai dengan perayaan. Selama 24 Jam, pemeluk agama ini tinggal di dalam rumah. Mereka tidak beperian. lampu-lampu dipadamkan, tidak ada nyala api, dan karena itu semua kegiatan dapur terhenti. Selama 24 jam itu mereka memang berpuasa. Semua kegiatan mandek total. Membaca pun, katanya, tidak diperbolehkan. Bernapas dan mendetakkan jantung saja yang justru harus dilakukan. Kabarnya, ada toko di Jalan Gajah Mada, Denpasar, yang buka pada suatu hari Nyepi, dan kemudian diIempar batu. Orang Yahudi bahkan melakukan semacam nyepi ini tiap hari Sabtu. Sebab, menurut kepercayaan mereka, Tuhan beristirahat pada hari ketujuh ketika selesai mencipta semesta. Mereka yakin bahwa beristirahat pada hari Sabbat adalah the beginning of man's imitation of God. Dalam kitab Talmud, Sabbat merupakan traktat yang paling besar. Pada hari itu mereka tak boleh bepergian, mereka memakai pakaian khusus, mereka hanya boleh makan makanan tertentu dan mereka harus lebih banyak mengkontemplasikan Yudaisme. Istirahat pada hari Saobat, kata orang Yahudi, baru merupakan separuh dari ketaatan. Separuhnya lagi adalah pengakuan terhadap Pencipta Semesta yang beristirahat pada hari ketujuh. Sabbat bahkan telah diadopsi (oleh orang Barat, tentu saja!) dalam pengertian umum yang berarti cuti panjang untuk tetirah. Seorang manajer yang terkena stress lalu pergi tetirah selama tiga bulan di gunung untuk memerangi kejenuhan sambil berlatih putting agar skor golfnya mejadi lebih baik. Seorang guru besar mengambil sabbathical leave untuk merampungkan penulisan bukunya. Orang Prancis juga mengenal konsep reeuler, yaitu mundur selangkah untuk melihat apakah langkah maju semula merupakan langkah lurus atau berkelok. Sekalipun secara fisik ditandai dengan gerak mundur, reculer adalah langkah penting untuk meloncat ke depan. Dalam hiruk pikuk pekerjaan yang seperti tak kunjung habis, saya tiba-tiba menjadi sangat iri terhadap konsep pause, nyepi, sabbath, atau reculer ini. Sering kali saya berpikir bahwa jeda adalah kemewahan yang luar biasa. Tetapi saya pun yakin bahwa tanpa pause kita bisa langsung game. Tidak ada orang yang mampu bekerja terus-menerus tanpa istirahat yang merupakan kurun pemulihan. Apakah hikmah pause? Dengan diam kita bisa mendengar denting yang paling halus ketika sepucuk jarum mengempas lantai. Dengan diam kita mampu mendengar bisikan nurani kita yang telah lama kita abaikan. Dengan diam kita teringat akan janji yang terlupakan. Sebab, kalau hati kita tidak mampu mendengar, raga kita bisa lebih mendengar, misalnya: langsung ambruk karena serangan jantung. Saya lalu teringat sebuah tulisan pada kepala tempat tidur di sebuah hotel: if you cannot sleep, don't blame the bed, but check your conscience. Kalimat itu mungkin analog dengan ucapan Mencius: if what you do is in vain, always seek within. Dan untuk mencari ke dalam diri kita sendiri kita perlu pause kita perlu nyepi, dan kita perlu reculer. Lupakanlah bisnis sehari saja karena bisnis tak akan melupakan kita. Dan esok lusa kita akan melihat perspektif yang baru. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini