DIGUL dimonumenkan. Di tempat para pejuang kemerdekaan klta dulu dlbuang, di Irian Jaya, 17 Agustus nanti akan diresmikan sebuah patung relief yang menggambarkan perjuangan itu. Imlah karya Edhie Soenarso, pematung yang sebentar lalu menjadi berita gara-gara membuat patung Arie Hanggara, murid SD yang meninggal oleh tangan orangtuanya sendiri. Bersama 46 karya pematung lain, ciptaan Edhie dipamerkan di Gedung Purna Budaya, Yogyakarta, pekan lalu. Seorang lelaki, yang pada dasarnya tinggi dan tegap, tapi hanya tampak tulang karena perjuangan, dlgambarkan dari belakang. Tangan kanannya dirantai, dan rantai itu mengikat kaki kirinya. Tapi tangan itu memegang palu, dan tangan klrinya yang bebas mengacungkan bedil dobellup buatan Belanda. Kira-kira ini mencerminkan. betapa pun para peJuang dulu dlbuang di sarang malaria dan demam kencing hitam, semangat meraih kemerdekaan tak kunjung padam. Dan bila patriot itu digambarkan membelakang, hanya terlihat punggungnya, mungkin inilah upaya Edhie agar karya itu lebih menyiratkan simbolisme dan tak menjadi patung seorang figur. Dan Edhie, pematung yang karya monumennya banyak menghias Jakarta - misalnya Patung Pembebasan di Lapangan Banteng, Patung Selamat Datang di depan Hotel Indonesia - dengan pas menghindarkan klise. Ia tak memasang bambu runcing di tangan sang pejuang, melainkan senapan. "Itu simbol hadirnya kolonial. Waktu itu kita tak punya senjata," kata Edhie, 51. Memang, bisa juga terasa kurang klop: mengapa tahanan politik berjuang justru dengan bedil. Di tengah pameran, patung setinggi enam meter ini memang paling mengundang perhatian. Menghabiskan empat kuintal tembaga, Tahanan Politik tak Dikenal - demikian judul patung - membutuhkan satu tahun (1984) buat penyelesaiannya. Jangan kaget, monumen ini pesanan Nugroho Notosusanto, tapi sewaktu belum menjadi menteri P L K. Yaitu semasa ia menjadi koordinator Bidang Penghargaan Kepahlawanan Departemen Sosial, 1970-an. Dan, berbeda dengan pesanan monumen Arie yang dibatalkan itu, untuk monumen Digul, Nugroho sepenuhnya mempercayakan kepada Edhle soal perwujudannya. Itu yang membuat Edhie begitu bangga akan patung-reliefnya ini. "Semua monumen yang saya kerjakan terikat oleh tema dan bentuk dari pemesan kecuali satu ini," kata pematung yang kimi menyimpan monumen Arie sebagai kenang-kenangan itu. Tak berarti sebelumnya tak ada pembicaraan. Pada 1974, Edhie bersama Nugroho meninjau Digul - daerah hutan lebat di sisi timur Sungai - Digul Hilir, Irian Jaya bagian selatan. Dari situlah Edhie menyerap suasana, dan lewat satu proses kreatif akhirnya mewujudkan gagasannya berbentuk patung relief itu. Kurang jelas mengapa Edhie memilih bentuk patung relief dan bukan patung tiga dimensi. Ada kemungkinan menyangkut soal praktis: cara membawa karya itu. Perjalanan dari Yogya ke Diguf bukan gampang, apalagi karya itu berukuran besar. Direncanakan, patung-relief ini akan dipotong-potong menjadi hanya sepanjang 60 cm, sebelum diangkut ke Jakarta - lewat darat. Dari Jakarta Tahanan Politik tak Dikenal akan dikapalkan menuju Jayapura. Dari Jayapura karya tembaga ini dibawa ke Sentani dengan truk. Dari Sentani, diterbangkan ke Tanah Merah. Dan, agar lengkap pengalaman perjalanan, sang patung dan Tanah Merah ke Digul hanya akan dipikul melewati jalan setapak. Di Tanah Merah Digul memang belum ada kendaraan. Edhie sendiri akan ikut mengawal perjalanan ini. Di Digul, tempat ribuan tahanan politik antara lain Mohammad Hatta dan Syahrir - dibuang, monumen berharga Rp 60 juta itu akan diberdirikan pada sebuah plaza. Tapi mengapa Digul yang dipilih, sebuah kamp tahanan polltik yang dladakan secara tergesa-gesa oleh Belanda pada 1926, dan berlangsung sampai saat masuknya Jepang ke tanah air? Sebuah kamp yang, menurut I.F.M. Cahlid Salim dalam bukunya Lima Belas Tahun Digul, kebanyakan diisi dengan para pejuang kemerdekaan beraliran kiri alias komunis? "Karena sejak tahun 1920-an, Digul sudah terkenal secara internasional sebagai tempat pembuangan tahanan politik terbesar di Indonesia," kata Edhie Soenarso mengulang alasan pemesannya, yaitu Proyek Penghargaan Kepahlawanan Departemen Sosial. Saur Hutabarat, Laporan Ario Margono (Yogyakara)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini