Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ada buroq, juga legenda jawa

Pelukis Haryadi dan setiawan mengadakan pameran seni grafis mereka di pusat kebudayaan Jepang, Jakarta. Resensi oleh Bambang Bujono. (sr)

23 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENI grafis Indonesia belum sepanjang seni lukisnya. Baru di awal 1950-an Baharuddin Mara Sutan dan Mochtar Apin - keduanya pelukis - melahirkan karya cukilan kayu pertama. Sejak itu ada beberapa pelukis Indonesia yang juga membuat grafis - antara lain Zaini almarhum dan Nashar. Tapi tetap saja para pelukis itu, dalam melahirkan karya grafis, berpegang pada seni lukisnya. Baru setelah Seni Rupa ITB membuka jurusan grafis, 1965, muncul para seniman grafis yang benar-benar menciptakan karya bertolak dari media itu. Mereka antara lain Haryadi Soeadi, 46, lulusan angkatan pertama jurusan itu. Pekan ini, bersama rekannya yang lebih muda, Setiawan Sabana, 34, Haryadi membuka pameran berdua di Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta. Pada Haryadi, yang sejak awal menggumuli cukilan kayu - teknik seni grafis terkuno - orang akan melihat bahwa seni grafis bukan seni sulit. Karya-karya Haryadi mencerminkan kesederhanaan - baik dari bentuk maupun tema. Bahkan dosen seni grafis di Seni Rupa ITB ini yakin, cukilan kayu justru menampilkan wujudnya yang kuat hanya dengan hitam putih - ia sengaja menolak warna. Mula-mula, pada akhir 1970-an, orang Cirebon ini banyak bercerita tentang lanskap sehari-hari. Bukan secara realistis. Yang digambarkannya lewat cukilan kayu hitam putihnya bukanlah sosok-sosok atau pemandangan yang bisa ditemui sehari-hari. Tapi seekor kuda yang lari di langit, burung-burung yang bercanda dengan matahari yang menjelma jadi wajah orang, seekor anjimg yang naik ke pundak seseorang, sementara seekor ular dan seekor burung bercanda di atasnya. Kala itu ia banyak dipuji orang karena garis-garis cukilannya yang begitu ritmis dan mampu menyuguhkan nuansa. Pada 1975, Haryadi tertarik mengerjakan lukisan kaca. Tampaknya, ia banyak belajar dari para pelukis kaca tradisional Cirebon yang banyak membuat kaligrafi Arab. Dari perhatlan barunya ltu, la menemukan kesamaan napas antara karya-karyanya dan imaji-imaji cerita rakyat yang juga banyak digarap para pelukis kaca tradisional. Maka, ketika ia kembali banyak mengerjakan grafis, pengalaman melukis pada kaca menciptakan hal baru. Garis-garis cukilannya kemudian bernapaskan kaligrafi Islam, meski ia mengaku hanya bisa menuliskan kata Allah dengan huruf Arab. Kemudian lahir seseri karya bertemakan Adam dan Hawa. Terkadang Adam dan Hawa dilukiskan hanya berdua, tanpa latar belakang. Hanya ada garis-garis rambut dan garis-garis pembentuk suasana - yang tentu, seperti sudah disinggung, berbau kaligrafi Arab. Ia pun lalu banyak pula menggambarkan buroq, yang dalam tradisi Islam merupakan tunggangan para nabi itu. Bapak satu anak ini rupanya tertarik pada sejarah asal manusia. Tapi Haryadi pun menampilkan imaji-imaji dari legenda dan cerita rakyat Jawa. Dalam karya berjudul Rajah dan Setanan, 1985, ia mengomposisikan bentuk-bentuk ini: kuda, ular dan udang berkepala orang. Sebuah dongeng dari zaman ketika hal-hal mistis masih menguasai alam pikiran. Dan semua itu, dibandingkan dengan karya grafisnya pada 1970-an, lebih tampak utuh dan mengalir. Garis cukilan kayunya kini seperti tak terputus, lekuk liku garis yang mirip kaligrafi Arab itu seolah dibuat dengan satu tarikan. Lihat saja Adam dan Hawa, 1980. Agak berbeda dengan penggambaran lazim cikal bakal manusia ini, Haryadi menempatkan Adam dan Hawa dalam posisi berbaring. Lalu di atasnya dilukis pohon, dan di situ ada ular dan buah. Maka, meski garis pembentuk figur dan pohon terpisah, semuanya seperti berhubungan. Haryadi telah bercerita denan utuh, lewat bahasa gambar. Membandingkan karya Setiawan dengan karya Haryadi memang kurang tepat. Setiawan tampak lebih "modern". Baik ia mengambil obyek realistis maupun hanya bentuk geometris, komposisi agaknya dibuatnya dengan kesadaran mengatur ruang. Mungkin itulah yang justru mengganggu: kemudian Setiawan seolah mencari efek. Soalnya, seperti bisa dilihat dari Pemandangan Alam IV, garis-garis miring yang tebal itu terpisah dari bentuk-bentuk kabur di belakangnya. Dengan kata lain kematangan karya Setiawan belum terasa. Ia mungkin lagi sibuk dengan teknik etsanya yang dicampurnya dengan tekmik akuatm dan cetak buta atas tanpa warna. Betapapun, pameran ini patut dicatat. Tontonan grafis rasanya termasuk jarang. Dari dua belas kali pameran bersama yang dilakukan Haryadi dari 1968 sampai 1984 hanya enam kali berlangsung di Indonesia Jakarta dan Surabaya. Selebihnya, di luar negeri. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus