Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH perlu mengkaji kembali rencana pemanfaatan slot orbit satelit 123 derajat Bujur Timur yang selama ini tidak terpakai. Selain berpotensi mubazir karena hak lintasan akan habis pada akhir 2024, terbuka lebar peluang lain menggunakan teknologi satelit yang lebih modern.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perhitungan untuk memperpanjang hak lintasan semestinya didasarkan pada nilai strategisnya. Dulu lintasan ini memang cocok untuk satelit kategori L-band, yang memungkinkan implementasi sistem komunikasi prima dengan jangkauan luas, sehingga diperebutkan banyak negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi sekarang, seiring dengan kemajuan teknologi, sistem satelit geostasioner ini akan usang. Apalagi Indonesia baru saja meluncurkan satelit nano, Surya Satellite-1 (SS-1) buatan mahasiswa Surya University pimpinan Yohanes Surya, pada 26 November 2022. Didukung oleh Pasifik Satelit Nusantara serta Badan Riset dan Inovasi Nasional, satelit tersebut melesat ke ruang angkasa menggunakan roket SpaceX Falcon 9 CRS-26, perusahaan antariksa milik Elon Musk, dari NASA Kennedy Space Center, Florida, Amerika Serikat.
SS-1 mengemban misi Automatic Packet Reporting System yang berfungsi sebagai media komunikasi via satelit dalam bentuk teks singkat. Teknologi ini dapat dikembangkan untuk mitigasi bencana, pemantauan jarak jauh, serta komunikasi darurat.
Tersebab itu, urgensinya adalah memperpanjang slot orbit satelit 123 derajat BT. Apalagi selama ini tata kelola pemanfaatan satelit tersebut selalu amburadul. Terbukti kegagalan Indonesia mengorbitkan kembali satelit di slot 123 derajat BT hingga saat ini buntut dari ketidakjelasan wewenang dan kekacauan dalam penunjukan rekanan swasta.
Slot orbit 123 derajat BT awalnya dipakai satelit Garuda-1. Namun, pada 2015, Garuda-1 keluar dari lintasan setelah mengorbit selama 15 tahun sehingga slot orbit tersebut menganggur. Tak ingin slot orbit itu diambil alih negara lain, Kementerian Pertahanan mengikat kontrak dengan Avanti Communications. Avanti menempatkan satelit Artemis pada November 2016 untuk mengisi slot tersebut. Masalah muncul pada Agustus 2017, Kementerian Pertahanan tidak bisa membayar sesuai dengan kontrak. Pengadilan arbitrase memutuskan Kementerian Pertahanan harus membayar US$ 20 juta (lebih dari Rp 300 miliar) kepada Avanti. Selain itu, muncul gugatan dari pabrikan satelit dan perusahaan konsultan.
Kekacauan memang terjadi sejak awal pengadaan. Tidak ada proses tender yang terbuka dan transparan saat pemilihan perusahaan yang akan menerima hak kelola. Sebaliknya, aroma lobi dan kongkalikong justru mewarnai, mengesampingkan kepentingan orang banyak. Belakangan, dugaan korupsi menyeruak dalam pengadaan satelit yang berlangsung pada 2012-2021 tersebut. Kejaksaan Agung sudah menetapkan sejumlah tersangka dalam perkara ini.
Pemerintah masih punya waktu untuk membatalkan rencana memperpanjang hak lintasan. Lebih baik memilih teknologi terbaru yang bisa memberi manfaat besar ketimbang memaksakan proyek yang sudah terbukti melahirkan banyak masalah. Jangan sampai karena hanya ingin mengakomodasi hasrat segelintir pemburu rente, pemerintah kembali jatuh di lubang yang sama: proyek gagal, duit negara melayang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo