Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Simulasi Mencegah Bui

Kelompok penolak pengesahan RKUHP gencar membuat konten tentang pasal-pasal bermasalah. Dilawan akun robot.

11 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEHARI seusai pengesahan RKUHP atau Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Selasa, 6 Desember lalu, seorang lelaki menemui pacarnya di kafe LDR. Menjalin hubungan jarak jauh, keduanya berpelukan dan bergandengan tangan. Tiba-tiba muncul aparat keamanan menangkap mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Di KUHP ada pasal yang melarang orang mempertontonkan hal-hal yang melanggar kesusilaan tanpa persetujuan orang yang melihatnya,” kata petugas bertopi dinas tersebut. Berdurasi sekitar satu menit, video penangkapan sejoli itu dimuat di akun Instagram @bangsamahasiswa. Di awal video tercantum keterangan bahwa kisah fiktif tersebut bisa terjadi seiring dengan pengesahan RKUHP.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemeran laki-laki di video, Rieswin Rachwell, mengatakan konten itu berupaya menjelaskan bahwa KUHP versi terbaru masih mengandung berbagai pasal bermasalah. Ia mengakui bahwa konten tersebut belum tentu akurat secara substansial, tapi bisa memberikan gambaran tentang pasal bermasalah di KUHP anyar.

“Ini upaya mengedukasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat soal pasal-pasal bermasalah,” ujar mantan penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut kepada Tempo, Kamis, 8 Desember lalu.

Video tersebut dibuat oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Mereka terdiri atas aktivis antikorupsi, mahasiswa, pelajar, dan lembaga swadaya masyarakat yang menolak pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP. Aliansi menilai draf RKUHP sangat minim menampung aspirasi publik. Padahal berbagai pasalnya menyangkut hajat hidup banyak orang.

Penggalangan dukungan menolak RKUHP diinisiasi pada Juni lalu. Kala itu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sedang membahas penyusunan RKUHP untuk mengganti aturan lama peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Aliansi bukannya tak setuju perubahan KUHP. Namun mereka menginginkan pasal-pasal bermasalah dihapus sebelum pengesahan RKUHP.

“Banyak pasal problematik seperti penghinaan presiden dan lembaga negara, dan lainnya,” ucap Rieswin. Ia memastikan Aliansi Nasional Reformasi KUHP tak akan berhenti mengedukasi masyarakat meski rancangan tersebut telah disahkan. Sebab, semua orang bisa saja dijerat dengan berbagai pasal karet dalam KUHP baru.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP membuat setidaknya lima miniseri yang diunggah ke akun Instagram @bangsamahasiswa dan akun Twitter @LBH_Jakarta. Kelompok ini juga menggaungkan tanda pagar #tibatibadipenjara, #semuabisakena, #tolakkuhpbermasalah, dan #tolakkuhpngawur.

Mereka juga membuat “Panduan Mudah #TibaTibaDipenjara” yang dirilis pada Kamis, 1 Desember lalu. Panduan tersebut merupakan hasil interpretasi anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Setidaknya ada 48 pasal bermasalah di KUHP yang dinilai sangat merugikan masyarakat. Antara lain, penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara.

Pasal bermasalah lain adalah pengaturan pawai dan unjuk rasa. Ketentuan itu dianggap mempersulit masyarakat untuk berekspresi karena harus mendapat izin dari kepolisian. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Citra Referandum mengatakan kerap kali unjuk rasa muncul secara insidental dan tak direncanakan.

Ia mencontohkan unjuk rasa warga Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, yang menolak tambang batu andesit pada Februari lalu. Mereka bergerak tanpa izin ke penegak hukum karena tiba-tiba wilayah itu telah dikepung polisi. Pun suporter sepak bola bisa dihukum jika tak mendapat izin berpawai. “Seharusnya cukup pemberitahuan, bukan permintaan izin,” ujar Citra.

Tak mudah bagi Aliansi Nasional Reformasi KUHP menaikkan kepedulian masyarakat tentang bahaya KUHP baru. Awal-awal mereka merilis konten di media sosial, hanya ada sedikit respons. Rieswin mengatakan belakangan mereka menyadari bahwa bahasa dalam RKUHP sulit dipahami masyarakat biasa. Mereka pun sulit mendapat draf RKUHP terbaru karena masih dirahasiakan oleh pemerintah dan DPR.

Namun mereka tak menyerah. Aliansi menggandeng tokoh-tokoh berpengaruh yang memiliki banyak pengikut di media sosial. Misalnya jurnalis Najwa Shihab dan musikus Melanie Subono. Bersama-sama mereka menggaungkan tagar #semuabisakena dan #tibatibadipenjara. “Mereka membantu menyampaikan urgensi gerakan menolak KUHP,” tutur Rieswin.

Aliansi juga sempat mengajak publik untuk mengirim e-mail kepada para anggota DPR. Isinya, protes terhadap pasal bermasalah. Namun gerakan itu gagal karena minim partisipasi.

Perwakilan Aliansi Reformasi KUHP saat mengikuti rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR RI terkait RKUHP, di Senayan, Jakarta, 14 November 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Gerakan kelompok ini mulai membetot perhatian khalayak ketika unggahan konten difokuskan di akun Instagram @bangsamahasiswa dan akun Twitter @LBH_Jakarta. Akun anggota koalisi yang lain ikut membagikan unggahan tersebut. “Banyak yang menonton dan mengomentari video kami,” kata Rieswin. Satu video bisa ditonton lebih dari 60 ribu kali.

Rieswin dan Citra Referandum menyadari pemerintah dan DPR sudah sepakat mengesahkan KUHP meski ada sejumlah pasal bermasalah. Meski begitu, mereka tetap akan membuat berbagai konten, termasuk simulasi bahaya KUHP anyar, hingga aturan tersebut berlaku tiga tahun lagi.

Mereka tak gentar meski ada narasi tandingan yang mendukung pengesahan KUHP ini. “Kami melihat ada akun-akun influencer yang mendukung KUHP baru,” ujar Citra. Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai strategi serupa muncul saat pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, yang isinya juga bermasalah dan minim partisipasi publik.

Pertarungan antara pendukung dan penolak RKUHP terlihat dari kajian Drone Emprit, pemantau konten media sosial. Analis Drone Emprit, Nova Mujahid, mengatakan di Twitter ada lebih dari 73 ribu percakapan tentang KUHP baru. “Didominasi oleh kubu yang kontra-RKUHP,” ucap Nova. Penolakan tersebut disampaikan oleh hampir 33 ribu akun pada 3-9 Desember lalu.

Dari hampir 73 ribu mention, 76 persen di antaranya bernada negatif tentang pengesahan KUHP. Menurut Nova, cuitan yang mendukung KUHP sangat kecil, yakni 7.000-an mention atau sekitar 11 persen. “Hampir semuanya lewat re-tweet dan mention. Narasinya sama. Indikasinya dilakukan oleh bot (akun robot),” kata Nova.

Dari hampir 33 ribu akun yang menolak pengesahan RKUHP, Drone Emprit baru mengidentifikasi 46 persen atau sekitar 15 ribu akun. Sebanyak 12 ribu di antaranya merupakan akun organik. Nova menilai jumlah itu menunjukkan partisipasi publik yang cukup signifikan dalam menolak pengesahan RKUHP.

Menghadapi penolakan pengesahan RKUHP, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan akan menemui koalisi masyarakat sipil untuk membahas pasal-pasal yang dianggap bermasalah. “Sedang kami atur. Jangan sekarang, tensinya masih tinggi,” ujar guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada itu.

LINDA TRIANITA, HUSSEIN ABRI DONGORAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus