Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THOMAS van der Heyden menjadi salah satu tokoh dalam proyek satelit pengisi slot orbit 123 derajat bujur timur. Warga negara Amerika Serikat ini dikenal sebagai insinyur yang merancang dan membangun satelit IndoVision pada 1998. Dia pula yang menjadi otak satelit komunikasi pertahanan (Satkomhan) yang akan digarap Kementerian Pertahanan pada 2015. Thomas kemudian bergabung dengan PT Dini Nusa Kusuma (DNK) yang membangun Satkomhan dan menggarap satelit L Band pengisi orbit 123 BT, sebelum kemudian dinyatakan merugikan negara oleh Kejaksaan Agung. Thomas yang kini masuk di jajaran PT Mahadana Teknosat Indonesia ditetapkan menjadi tersangka dugaan korupsi proyek tersebut bersama sejumlah petinggi PT Dini Nusa Kusuma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada Tempo, Thomas memberi jawaban seputar proyek ini, termasuk saat dia bergabung dengan Mahadana. Mahadana disebut-sebut sudah mengajukan kesanggupan melanjutkan proyek satelit L Band yang awalnya dikerjakan oleh DNK. Jawaban Thomas ini kami terima secara tertulis pada 11 Desember 2022, setelah tenggat penulisan majalah Tempo selesai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anda baru-baru ini terlibat di Mahadana yang tertarik melanjutkan proyek L Band jika izin DNK dicabut pemerintah. Apa posisi Anda?
Managing director (Mahadana Teknosat Indonesia).
Anda sejak awal terlibat dalam perancangan Satkomhan. Benarkah Anda hanya menjual ide dan meyakinkan Kementerian Pertahanan bahwa proyek ini penting?
Saya mulai bekerja dalam komunikasi satelit pada tahun 1972 sebagai insinyur di terminal satelit militer. Saya telah membangun jaringan darat dan satelit, biasanya dengan skema turn-key, sebagai direktur teknik di Amerika Serikat, Nigeria, Filipina, Thailand, Cina, Taiwan, Arab Saudi, dan Indonesia selama lima puluh tahun. Saya yang merancang dan membangun sistem IndoVision sebagai program siap pakai yang bekerja sama dengan PT Bimantara. Satelit itu memberikan layanan satelit siaran televisi tahan hujan pertama di dunia ke Indonesia.
Pada tahun 2011, saat bekerja di Thailand sebagai direktur teknik satelit SkyFiber, saya dihubungi oleh CEO DNK dan bertanya apakah saya dapat membantu merancang, membangun, dan memberikan kemampuan “interoperabilitas” untuk angkatan bersenjata Indonesia, seperti yang diminta oleh Menteri Pertahanan saat itu Purnomo Yusgiantoro. Menteri Purnomo menjelaskan bahwa TNI perlu ditingkatkan interoperabilitasnya, mengingat sifat Indonesia sebagai negara kepulauan, di mana TNI harus mengurus lebih dari 17.000 pulau, hutan, pedesaan dan daerah terpencil, dan hamparan perairan yang sangat luas. Satelit adalah solusi paling logis untuk persyaratan ini.
Pada Januari 2012 saya terbang ke Jakarta untuk bertemu dengan manajemen senior DNK dan membahas potensi program. Pada tanggal 1 Maret 2012, perjanjian bersama antara perusahaan konsultan saya EurAsian Technology Holdings (ETH) dan DNK ditandatangani. Saya pindah kembali ke Indonesia untuk bekerja sama dengan manajemen DNK untuk mengevaluasi bagaimana interoperabilitas dapat dipenuhi.
Sejak 2012, dengan bantuan perusahaan konsultan komunikasi satelit internasional seperti Telesat Canada, Space Partnerships International, Hogan-Lovells, dan beberapa konsultan yang berfokus pada regulasi, DNK dan ETH bekerja untuk mengembangkan solusi, yang telah dipresentasikan dan didiskusikan dengan kementerian pertahanan dan militer beberapa kali sepanjang 2012-2014.
Pada pertengahan 2015, setelah 123E kosong sepeninggal Garuda-1, Menteri Komunikasi Rudiantara dan Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu memutuskan slot orbit 123E akan menjadi sumber daya sekaligus tanggung jawab dari Kementerian Pertahanan. Beberapa bulan kemudian pada 11 November 2015, setelah diminta mendukung Kementerian Pertahanan pada September 2015, saya diminta menjadi Tenaga Ahli Bidang Satelit, jabatan yang tidak ada kompensasinya.
Anda disebut sebagai pemburu rente dengan menjual ide proyek satelit dan meyakinkan pemerintah untuk mendanai proyek ini, apa tanggapan Anda?
Ide satelit untuk mendukung pertahanan negara bukanlah hal baru di Indonesia maupun di dunia, dan tentunya bukan saya. Penentuan waktu masuknya Kementerian Pertahanan ke dalam program satelit itu semua berkaitan dengan gagalnya satelit Garuda pada Januari 2015, dan keputusan menteri terkait untuk memberikan hak dan kewajiban untuk 123E kepada Kementerian Pertahanan.
DNK dianugerahi slot orbit 123E pada tahun 2018 setelah Kementerian Pertahanan mengembalikan slot orbit ke Kementerian Komunikasi dengan DNK dipilih dari banyak pelamar. Alasan utama DNK diberi lisensi itu karena, hanya DNK yang setuju untuk menyelesaikan tunggakan kewajiban Kementerian Pertahanan terkait program 123E. DNK juga mendapat komitmen finansial dari Kresna Investments.
Berkenaan dengan kemampuan saya untuk “memastikan apapun sehubungan dengan pemerintah Indonesia” ini tidak masuk akal karena berbagai alasan. Saya bukan orang Indonesia. Saya hanya berbicara sedikit Bahasa Indonesia. Indonesia bukan tempat tinggal saya--saya bekerja di Indonesia dengan visa kerja satu tahun tahunan. Saya fokus pada teknik, bukan aspek bisnis dari program. Saya tidak mewakili perusahaan mana pun (asing atau domestik) di Indonesia kecuali perusahaan konsultan saya sendiri. Saya tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemerintah untuk membuat komitmen apapun.
Apakah proyek satelit L Band dapat dilanjutkan tanpa Anda, jika ada pihak yang mampu mengerjakannya?
Proyek satelit L-Band pasti bisa berlanjut tanpa saya. Konsep program tidak pernah menjadi milik saya, itu berasal dari banyak konsultan ahli internasional yang baik, yang mengerjakan program tersebut, sebagaimana dipandu oleh persyaratan, yang diberikan selama pertemuan dan presentasi kepada angkatan bersenjata Indonesia. Proyek satelit L-band harus mampu mendemonstrasikan pasar yang dapat memberikan pendapatan yang cukup untuk membayar hutang program dan menghasilkan keuntungan yang wajar. Saya selalu percaya ini mungkin, jika tidak, saya tidak akan memboyong keluarga saya ke Indonesia dan menginvestasikan begitu banyak waktu dan reputasi saya dalam program ini.
Seberapa strategis slot orbit 123 derajat bujur timur bagi Indonesia?
Slot orbit 123 bujur timur (123E) sangat strategis bagi Indonesia karena berbagai alasan. Itu adalah satu-satunya slot orbit yang tersisa di ruang angkasa yang dapat menyediakan komunikasi yang andal termasuk suara, data, internet of things, drone, perpesanan, pelacakan, antara pengguna yang bergerak atau tidak bergerak, dengan biaya kurang dari 1/10 dari Layanan Satelit Seluler (MSS) lainnya, sehingga 123E dapat mendukung layanan konektivitas yang paling hemat biaya untuk Indonesia. Jika Indonesia menggunakan 123E, Indonesia berhak menggunakan 123E selamanya sehingga investasi akan bernilai selama bertahun-tahun.
Apa urgensi mempertahankan slot 123E?
Semua lokasi dan frekuensi orbit satelit berada di bawah kendali International Telecommunications Union. Jika hingga November 2024 Indonesia belum memulai pengoperasian satelit di 123E, maka Indonesia akan kehilangan hal yang mustahil bisa tergantikan ini selamanya.
Tidak bisakah Indonesia mengajukan lagi slot itu dan mendapatkan frekuensinya lagi?
Jika pada November 2024, Indonesia tidak menggunakan 123E, Indonesia selamanya akan berada di bawah kekuasaan penyedia layanan satelit asing. Frekuensinya sudah diambil oleh negara lain seperti halnya slot orbit lebih dari 20 tahun yang lalu. Tidak ada yang tersisa di busur orbit geostasioner di atas Indonesia untuk diterapkan atau dikoordinasikan. Dengan kehilangan 123E, Indonesia akan kehilangan blok pembangunan bangsa yang bisa menjadi salah satu alat untuk membantu mengangkat Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju.
Siapa yang akan menggunakan satelit ini di masa mendatang? Bisakah proyek ini bertahan dengan mengandalkan pasar komersial?
Satelit ini sempurna untuk jaringan kekuatan pertahanan Indonesia di darat, di laut, dan di udara, memberikan interoperabilitas total. Pada saat yang sama, satelit juga dapat mendukung pendidikan langsung ke jutaan siswa, komunikasi pedesaan dan jarak jauh yang sangat murah, fasilitas kesehatan jarak jauh, operasi penyelamatan darat dan laut, memantau instalasi pertanian, menyediakan jaringan yang andal bagi polisi dan petugas medis darurat, mengamankan jaringan IoT komersial dan pemerintah, dan banyak lagi. Jika pemerintah dan pertahanan tidak ingin memiliki layanan vital ini, masih ada pasar komersial yang besar, tetapi akan membutuhkan waktu lebih lama untuk berkembang dan akan lebih sulit untuk dibiayai.
Satelit Garuda-1 milik PSN dulu mati karena pasarnya menyusut akibat layanan internet. Bagaimana dengan potensi pasar komersial dari satelit L Band ini?
Matinya bisnis satelit Garuda tidak ada hubungannya dengan pertumbuhan internet. Satelit PSN Garuda pada awalnya dirancang untuk menawarkan layanan roaming mirip GSM seluler di seluruh Asia sebelum proliferasi jaringan seluler. Pada awal tahun 2000-an internet bukanlah pasar yang signifikan dan satelit Garuda dirancang untuk suara dan data berkecepatan rendah, bukan internet.
Satelit Garuda merupakan investasi perusahaan dari tiga negara, Filipina, Thailand, dan Indonesia. Krisis moneter tahun 1998 memaksa Filipina dan Thailand memutuskan untuk keluar dari usaha tersebut, karena pengurangan substansial di pasar. Ada pertumbuhan yang sangat cepat dari seluler- berbasis pasar jelajah GSM. Perbedaan utama Garuda-1 MSS L-band saat ini adalah, teknologi memungkinkan desain satelit per pelanggan yang jauh lebih mampu dan berbiaya lebih rendah; peralatan terminal pengguna yang lebih mumpuni dan berbiaya jauh lebih rendah; dan program 123E kekuatan sinyalnya didesain untuk melayani Indonesia, membuat satelit baru jauh lebih hemat biaya mengingat desainnya yang digerakkan oleh pasar; dan pasar saat ini, 25 tahun kemudian, telah matang menjadi "dunia terhubung".
Saat ini mulai berkembang satelit nano yang lebih kecil dan lebih murah seperti satelit Starlink. Apakah ini bisa menjadi opsi pengganti untuk satelit MSS L band?
Satelit nano berukuran sangat kecil, biasanya berbobot antara 1-10 kilogram, dan hanya fokus melayani universitas dan pusat penelitian ruang angkasa nasional, bukan konstelasi komunikasi satelit operasional. Starlink dan satelit Low Earth Orbit (LEO) serupa lainnya dengan satelit MSS seperti di 123E punya perbedaan. Basis pelanggannya tidak sama dan tidak tumpang tindih. Ini dua pasar yang sangat berbeda. LEO berfokus pada tranmisi internet dan tidak dapat dibuat hemat biaya untuk aplikasi pertahanan dan atau seluler. Sementara 123E berfokus pada layanan suara berbiaya rendah, data dengan kecepatan rendah hingga menengah, pasar IoT, sensor dan drone, dan layanan jarak jauh atau pedesaan terisolasi.
Starlink adalah layanan komersial global yang membutuhkan kemampuan penjualan dan layanan di seluruh dunia, tidak seperti 123E yang merupakan layanan yang berfokus pada satu negara. Starlink dirancang untuk memberikan internet berkecepatan tinggi dengan terminal Rp750 jt dengan biaya layanan jauh di atas Rp1,5 juta/bulan. Sementara 123E dirancang untuk memberikan kecepatan data jenis suara dan IoT dengan terminal Rp100.000 – Rp700.000 dan biaya bulanan Rp15.000/bulan hingga Rp150.000/bulan tergantung layanan yang diberikan.
Dalam hal layanan, 123E akan 100 persen di bawah kendali Indonesia dan tidak dapat diganggu, dicegat, atau dimatikan oleh negara lain--di mana Starlink dapat. Terminal Starlink memerlukan teknisi untuk memasang, listrik untuk beroperasi, dan tidak mobile. Terminal 123E dirancang untuk dibuang dan diganti jika tidak berfungsi karena biayanya yang sangat rendah. Dalam beberapa kasus, 123E IoT dan terminal sensor, misalnya, akan beroperasi dengan baterai selama lebih dari lima tahun. Satelit LEO bukanlah opsi pengganti untuk satelit 123E, sama seperti sepeda motor dan bus, keduanya merupakan kendaraan, tetapi dirancang untuk melayani kebutuhan yang berbeda.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo