Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KISRUH vaksin berbayar sepekan terakhir mengingatkan kita pada selarik syair lagu pop. Ditulis Ebiet G. Ade pada 1982, tembang “Untuk Kita Renungkan” dibuat untuk menyindir pengail cuan dari bencana letusan Gunung Galunggung di Tasikmalaya, Jawa Barat. Katanya, “dalam kekalutan masih banyak tangan yang tega berbuat nista”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat dekade berlalu, di tengah pagebluk yang tengah berkecamuk, program vaksin berbayar yang didorong pemerintah serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia membuat syair itu kembali relevan. Memperhalus istilah “berdagang vaksin” dengan “bergotong-royong menyediakan vaksin”, eufemisme itu sejatinya hanya menutupi satu hal: komersialisasi pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo memang sudah membatalkan vaksin berbayar untuk individu. Meski demikian, program serupa untuk korporasi tetap berjalan. Perusahaan yang ingin semua karyawannya divaksin agar bisa beroperasi kembali dengan aman harus membayar kepada badan usaha milik negara. Di tengah kepungan virus corona yang mematikan dan roda ekonomi yang nyaris macet, menjual vaksin penyelamat nyawa sungguh tak etis. Pemerintah mempertaruhkan kredibilitasnya dan berisiko kehilangan kepercayaan publik.
Terlebih semua argumentasi pendukung vaksin berbayar sudah gugur satu per satu. Semula, Presiden Jokowi membuka pintu bagi vaksin berbayar korporasi dengan alasan keterbatasan anggaran. Sementara pemerintah berfokus menyebar vaksin prodeo ke kelompok rentan dan yang paling membutuhkan, perusahaan yang mau menyalip antrean kudu merogoh kantong sendiri. Toh, tujuan akhirnya sama: makin banyak rakyat yang mendapat vaksin.
Alasan ini sesungguhnya batal sejak awal. Anggaran vaksin untuk 182 juta penduduk sebesar Rp 74 triliun sejatinya masih bisa ditanggung pemerintah. Dibanding usulan penyertaan modal negara untuk BUMN atau rencana pembelian senjata yang diajukan Kementerian Pertahanan, jumlah anggaran vaksinasi tak jauh-jauh amat dan seharusnya menjadi prioritas.
Di luar itu, vaksin berbayar mendatangkan tanya. Semula, pemerintah menjamin importir vaksin berbayar tetap satu pintu dari BUMN. Kimia Farma lalu ditunjuk untuk mendatangkan Sinopharm buat program “vaksin gotong-royong”. Dalam praktiknya, muncul Kadin sebagai koordinator—juru catat untuk mendata perusahaan yang mendaftar. Desas-desus meruap: sejumlah pengusaha Kadin berada di belakang pengadaan vaksin Tiongkok itu.
Kejanggalan lain muncul dari patokan harga yang dibuat pemerintah. Kementerian Kesehatan mematok harga Rp 321.660 per dosis plus tarif suntik sebesar Rp 117.910. Berdalih untuk membatasi keuntungan, Kementerian menetapkan margin maksimal 20 persen untuk vaksin dan 15 persen untuk jasa suntik. Dengan target 15 juta orang untuk dua kali penyuntikan, besar untung yang didapat sampai Rp 1,03 triliun.
Margin profit sebesar itu dinilai penting jika skema vaksin berbayar kudu berlanjut. Meski kelak 70 persen penduduk Indonesia telah divaksin, belum ada jaminan pandemi reda. Tak tertutup kemungkinan, satu-dua tahun ke depan, vaksinasi harus diulang buat semua warga. Pemerintah sudah memberi isyarat tak bisa selamanya menggratiskan vaksin.
Masalahnya, saat ini program vaksin berbayar di lapangan juga berantakan. Sejumlah perusahaan yang telah mendaftarkan pekerjanya belakangan balik badan. Alasannya sederhana, duit mereka sedang cekak. Terutama pada perusahaan padat karya, vaksin berbayar memang memberatkan. Dari sanalah muncul ide mengubah skema penjualan: vaksin dilego eceran kepada konsumen lewat apotek Kimia Farma.
Pemerintah lalu mengubah payung hukum dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 menjadi Peraturan Nomor 19 Tahun 2021. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin kepada Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perubahan itu diambil dalam sebuah rapat yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan dihadiri Menteri BUMN Erick Thohir.
Kisruh vaksin berbayar ini menunjukkan kacaunya penanganan pandemi di Indonesia. Menteri Kesehatan, pejabat formal yang memimpin otoritas medis, terombang-ambing di antara kepentingan bisnis dan politik. Seharusnya ia bersama epidemiolog, ahli kesehatan masyarakat, dan ahli kebijakan publik yang menentukan arah penanganan pagebluk. Keputusan otoritas medis harus ditaati semua pemangku kepentingan.
Pandemi hanya bisa diatasi jika ada solidaritas sosial yang kuat. Para pengail cuan membuat publik muak dan mempertanyakan kesungguhan pemerintah melindungi warganya. Presiden Jokowi harus mengedepankan kemaslahatan khalayak di atas segalanya. Ia harus menghentikan segala upaya komersialisasi pandemi dan menunjukkan empati kepada rakyat yang tengah tercekik krisis Covid-19.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo