NIPPON cahaya Asia. Pelindung Asia. Pemimpin Asia.
Kata-kata itu memang propaganda yang menggelembung seperti
lampion dan seperti lampion, sebenarnya rapuh. Tapi bulan April,
41 tahun yang lalu, sebuah gerakan dibentuk dengan nama itu.
Singkatannya "Tiga A".
Gerakan itu "secara psikologis keliru," begitu komentar Bung
Karno dalam otobiografinya. "Gerakan itu tidak betul," gerutu
Bung Syahrir. Gerakan itu "dibenci orang", kata Bung Hatta.
Semua komentar para pemimpin politik ke arah kemerdekaan itu
agaknya benar, tapi apa mau dikata? Kekuasaan Jepang telah
mendiktekannya.
Bung Karno sendiri kemudian ikut. Menurut dia, ia masuk "untuk
merombaknya". Bung Hatta, sebagaimana ditulisnya dalam
Memoir-nya, tak setuju. "Bagiku ternyatalah," demikian ia
menulis, "bahwa maksud Soekarno kerja sama dengan Pemerintah
Militer Jepang ialah untuk mencapai cita-citanya memperoleh
kesempatan mendirikan sebuah partai baru, terutama untuk
memuaskan nafsunya untuk beragitasi".
Toh Bung Hatta pada dasarnya tak hendak bersikeras. Ketika Amir
Sjarifuddin datang kepadanya - sehabis ditahan dan disiksa
Kenpetei - bahwa ia diminta ikut dalam "Gerakan Tiga A", Bung
Hatta menyatakan "tidak berkeberatan". Maka agak mengherankan
bahwa ia bersikap lain menghadapi ide Bung Karno.
Dari semua itu nampaklah, betapa menduanya sikap para pemimpin
pergerakan Indonesia terhadap Jepang. Kecuali Sjahrir, - satu
dari sedikit pemimpin pergerakan yang secara kategoris bilang
"tidak" kepada Dai Nippon.
Ketika berita perang saudara di Spanyol sampai kepadanya dalam
pembuangan Belanda di Banda Neira, Sjahrir mencatatnya dengan
cemas. Fascisme sedang berbaris menang di seluruh dunia,
demikianlah tulisnya dalam buku Out of Exile. Di Asia, bentuknya
adalah supernasionalisme Jepang.
Tak heran bila di tahun 1938 ia mengatakan perlunya."berdiri di
kubu yang sama dengan Belanda".
Kita tak tahu apa jadinya Indonesia seandainya pendirian Sjahrir
yang dijadikan pegangan dalam pergerakan nasional waktu itu.
Yang agak bisa dipastikan ialah bahwa pendirian semacam itu
secara politis bukanlah pendirian yang laku - dan karena itu
mungkin sia-sia.
Sebab sebagaimana Sjahrir melihat Belanda tidak semata-mata
warna hitam, banyak para pemimpin pergerakan nasional juga
melihat Jepang tidak semata-mata hitam.
Beberapa waktu sebelum Perang Pasifik pecah, propaganda Jepang
ke Indonesia nampaknya sudah cukup intensif. Menurut sebuah
catatan Belanda di tahun 1940 Jepang menghadiahi para pemimpin
pergerakan nasional sebuah buku yang sangat prolepang, The Drama
of the Pasific tulisan R.V.C. Bradley. Sebuah koran di Padang,
Dagblad Radio, juga dikatakan dibeli dengan modal Jepang. Orang
yang memimpinnya, A. Madjid Oesman, pernah 4 tahun belajar di
Tokyo dan konon ipar dari Tuan Sakata, wakil Osaka Nichi Nichi
dan Tokyo Mainichi untuk Hindia Belanda.
September 1940 bahkan sebuah delegasi Jepang tiba di Batavia,
dipimpin oleh Tuan Kobayashi, menteri perdagangan dan industri.
Meskipun niat utusan itu sematamata dagang - begitulah resminya
- di Batavia mereka bertemu juga dengan Douwes Dekker dan M.
Husni Thamrin, dua pemimpin pergerakan nasional. Tak lama
sesudah pertemuan ini, Douwes Dekker dan Thamrin pun ditangkap
pemerintah Belanda ....
"Dan meskipun orang-orang pribumi, di seantero Lautan Teduh,
mungkin tak teramat mencintai Jepang, mereka membenci orang
putih," begitulah satu kalimat dari Antoine Zischka dalam Le
Japon dans le monde, yang dikutip seorang Belanda yang cemas
dalam salah satu penerbitan De Volksraad di tahun 1940.
Adakah semangat rasial begitu penting di situ? Mungkin tidak.
Bahwa begitu banyak orang berkolaborasi dengan Jepang barang
kali karena memang Jepang sendiri menampakkan sikap ambivalen
menghadapi kemerdekaan Indonesia: ketika ribuan orang
ditempelengi sebagai romusha atau disiksa Kenpetei, lambang
cita-cita Indonesia Merdeka, Bung Karno dan Bung Hatta, disalami
oleh Tenno Heika di Tokyo.
Memang membingungkan. Sejarah jugabelum cukup tuntas menjawab
tanda tanya itu. Tapi mungkin soalnya sederhana saja: perjuangan
pada akhirnya bukan soal analisa dan strategi, melainkan
optimisme. Kemerdekaan pasti didapat. Dan bukankah Jayabaya
telah meramal si penjajah kuning yang cebol itu cuma akan tahan
"seumur jagung" ?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini