Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Optimisme

Bung karno masuk gerakan tiga a dengan tujuan untuk mengubah. amir sjarifuddin juga masuk, atas izin bung hatta. bukan analisa dan strategi perjuangan untuk kemerdekaan, melainkan optimisme.

30 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NIPPON cahaya Asia. Pelindung Asia. Pemimpin Asia. Kata-kata itu memang propaganda yang menggelembung seperti lampion dan seperti lampion, sebenarnya rapuh. Tapi bulan April, 41 tahun yang lalu, sebuah gerakan dibentuk dengan nama itu. Singkatannya "Tiga A". Gerakan itu "secara psikologis keliru," begitu komentar Bung Karno dalam otobiografinya. "Gerakan itu tidak betul," gerutu Bung Syahrir. Gerakan itu "dibenci orang", kata Bung Hatta. Semua komentar para pemimpin politik ke arah kemerdekaan itu agaknya benar, tapi apa mau dikata? Kekuasaan Jepang telah mendiktekannya. Bung Karno sendiri kemudian ikut. Menurut dia, ia masuk "untuk merombaknya". Bung Hatta, sebagaimana ditulisnya dalam Memoir-nya, tak setuju. "Bagiku ternyatalah," demikian ia menulis, "bahwa maksud Soekarno kerja sama dengan Pemerintah Militer Jepang ialah untuk mencapai cita-citanya memperoleh kesempatan mendirikan sebuah partai baru, terutama untuk memuaskan nafsunya untuk beragitasi". Toh Bung Hatta pada dasarnya tak hendak bersikeras. Ketika Amir Sjarifuddin datang kepadanya - sehabis ditahan dan disiksa Kenpetei - bahwa ia diminta ikut dalam "Gerakan Tiga A", Bung Hatta menyatakan "tidak berkeberatan". Maka agak mengherankan bahwa ia bersikap lain menghadapi ide Bung Karno. Dari semua itu nampaklah, betapa menduanya sikap para pemimpin pergerakan Indonesia terhadap Jepang. Kecuali Sjahrir, - satu dari sedikit pemimpin pergerakan yang secara kategoris bilang "tidak" kepada Dai Nippon. Ketika berita perang saudara di Spanyol sampai kepadanya dalam pembuangan Belanda di Banda Neira, Sjahrir mencatatnya dengan cemas. Fascisme sedang berbaris menang di seluruh dunia, demikianlah tulisnya dalam buku Out of Exile. Di Asia, bentuknya adalah supernasionalisme Jepang. Tak heran bila di tahun 1938 ia mengatakan perlunya."berdiri di kubu yang sama dengan Belanda". Kita tak tahu apa jadinya Indonesia seandainya pendirian Sjahrir yang dijadikan pegangan dalam pergerakan nasional waktu itu. Yang agak bisa dipastikan ialah bahwa pendirian semacam itu secara politis bukanlah pendirian yang laku - dan karena itu mungkin sia-sia. Sebab sebagaimana Sjahrir melihat Belanda tidak semata-mata warna hitam, banyak para pemimpin pergerakan nasional juga melihat Jepang tidak semata-mata hitam. Beberapa waktu sebelum Perang Pasifik pecah, propaganda Jepang ke Indonesia nampaknya sudah cukup intensif. Menurut sebuah catatan Belanda di tahun 1940 Jepang menghadiahi para pemimpin pergerakan nasional sebuah buku yang sangat prolepang, The Drama of the Pasific tulisan R.V.C. Bradley. Sebuah koran di Padang, Dagblad Radio, juga dikatakan dibeli dengan modal Jepang. Orang yang memimpinnya, A. Madjid Oesman, pernah 4 tahun belajar di Tokyo dan konon ipar dari Tuan Sakata, wakil Osaka Nichi Nichi dan Tokyo Mainichi untuk Hindia Belanda. September 1940 bahkan sebuah delegasi Jepang tiba di Batavia, dipimpin oleh Tuan Kobayashi, menteri perdagangan dan industri. Meskipun niat utusan itu sematamata dagang - begitulah resminya - di Batavia mereka bertemu juga dengan Douwes Dekker dan M. Husni Thamrin, dua pemimpin pergerakan nasional. Tak lama sesudah pertemuan ini, Douwes Dekker dan Thamrin pun ditangkap pemerintah Belanda .... "Dan meskipun orang-orang pribumi, di seantero Lautan Teduh, mungkin tak teramat mencintai Jepang, mereka membenci orang putih," begitulah satu kalimat dari Antoine Zischka dalam Le Japon dans le monde, yang dikutip seorang Belanda yang cemas dalam salah satu penerbitan De Volksraad di tahun 1940. Adakah semangat rasial begitu penting di situ? Mungkin tidak. Bahwa begitu banyak orang berkolaborasi dengan Jepang barang kali karena memang Jepang sendiri menampakkan sikap ambivalen menghadapi kemerdekaan Indonesia: ketika ribuan orang ditempelengi sebagai romusha atau disiksa Kenpetei, lambang cita-cita Indonesia Merdeka, Bung Karno dan Bung Hatta, disalami oleh Tenno Heika di Tokyo. Memang membingungkan. Sejarah jugabelum cukup tuntas menjawab tanda tanya itu. Tapi mungkin soalnya sederhana saja: perjuangan pada akhirnya bukan soal analisa dan strategi, melainkan optimisme. Kemerdekaan pasti didapat. Dan bukankah Jayabaya telah meramal si penjajah kuning yang cebol itu cuma akan tahan "seumur jagung" ?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus