Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Angka kriminalitas di Bali meningkat akibat overtourism.
Buruknya tata ruang dan infrastruktur membuat Bali tambah sumpek.
Praktik pariwisata yang berkelanjutan bisa menjadi salah satu solusi.
BERTAMBAHNYA angka kriminalitas di Bali tidak terlepas dari masifnya pariwisata yang berlebihan atau overtourism di Pulau Dewata. Kejahatan, bersama polusi, kebisingan, kemacetan, kenaikan harga properti, serta kerusakan lingkungan merupakan konsekuensi fenomena tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian Daerah Bali mencatat ada 5.444 kasus yang mereka tangani sepanjang tahun lalu. Jumlah tersebut meningkat 19,07 persen dari tahun sebelumnya. Tipologi kejahatan di pulau itu didominasi tindak pidana umum, pidana khusus, narkoba, kejahatan siber, dan kecelakaan lalu lintas. Pelakunya bukan hanya warga Bali, melainkan juga wisatawan domestik dan asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus terbaru adalah penculikan dan perampokan aset kripto warga negara Ukraina, Igor Lermakov. Sejumlah orang bersenjata api menculiknya ke sebuah vila. Mereka lalu memaksa korban mentransfer aset uang kripto miliknya. Karena keselamatannya terancam, dia mentransfer semua aset kriptonya senilai US$ 214 ribu atau sekitar Rp 3,4 miliar. Kekerasan yang dialami Lermakov itu merupakan cerminan buruknya infrastruktur keamanan di Bali, yang menampung jumlah wisatawan melebihi kapasitasnya.
Tengok saja kondisinya ketika musim libur akhir tahun. Pulau seluas 5.780 kilometer persegi tersebut terlihat sumpek. Banjir merendam sejumlah kawasan di titik utama pusat wisata akibat buruknya pengelolaan tata ruang. Kemacetan ekstrem terjadi di mana-mana. Banyak orang habis waktu berjam-jam di jalan. Badan Pusat Statistik mencatat total kunjungan wisatawan di Pulau Dewata pada Desember 2024 mencapai 2,1 juta jiwa. Angka kriminalitas ikut meningkat.
Sejumlah studi menunjukkan jumlah turis—baik domestik maupun asing—mendorong naiknya tingkat kejahatan yang disertai kekerasan. Banyak daerah wisata memiliki tingkat kriminalitas lebih tinggi ketimbang kawasan yang bukan destinasi wisata. Tingkat kriminalitas mencapai puncaknya pada musim liburan.
Dua tahun lalu, Bali masuk sebagai salah satu destinasi wisata yang mengalami overtourism. Data Dinas Pariwisata Bali mencatat kunjungan wisatawan mancanegara dari Januari hingga Desember 2023 mencapai lebih dari 5,2 juta orang. Pada periode yang sama, kunjungan wisatawan domestik lebih dari 9,4 juta orang. Pulau kecil itu sudah tidak kuat menampung wisatawan.
Bali pun ibarat neraka bagi para pelancong. Rasa aman dan nyaman yang mereka kejar untuk mengisi waktu libur tak sepadan dengan apa yang diperoleh. Padahal kontribusi sektor pariwisata di Bali rata-rata menyumbang sekitar 4 persen dari produk domestik bruto dalam lima tahun terakhir. Devisa dari 6,3 juta kunjungan wisatawan asing sepanjang 2024 bahkan ditaksir mencapai Rp 30 triliun.
Angka itu tidak ada artinya jika pemerintah tak kunjung memperbaiki infrastruktur dan memperkuat sistem pengamanan wilayah. Fungsi intelijen di tubuh kepolisian ataupun petugas imigrasi dituntut lebih peka membaca situasi. Sistem pengawasan berlapis dari dua lembaga tersebut diperlukan agar bisa mendeteksi setiap potensi kejahatan serta mengambil langkah penindakan.
Jangan lagi ada celah yang membuat pelaku kejahatan bisa berulah. Maka pemeriksaan secara berkala terhadap izin tinggal wisatawan perlu diperketat. Begitu pula dengan patroli keamanan. Polisi juga perlu memperkuat kemitraan strategis dengan para pecalang yang diberi mandat oleh Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 sebagai “polisi adat”.
Tindakan tegas perlu dilakukan terhadap siapa pun yang terbukti berbuat onar. Membiarkan mereka terus berulah hanya akan mencoreng citra Bali di mata dunia internasional. Jangan sampai Bali dianggap surga bagi para pelaku kejahatan.
Yang tak kalah penting adalah mengatasi overtourism. Salah satunya dengan mempromosikan destinasi alternatif selain Bali. Cara ini bertujuan menyebarkan jumlah wisatawan untuk mengurangi beban pada satu kawasan. Strategi ini perlu disertai perbaikan infrastruktur sehingga destinasi baru siap menghadapi peningkatan jumlah pengunjung.
Hal lain yang bisa dilakukan ialah mempromosikan perjalanan di luar musim ramai. Tujuannya untuk menyeimbangkan distribusi pengunjung sepanjang tahun sehingga tidak terjadi penumpukan wisatawan pada waktu-waktu tertentu. Tidak hanya mengurangi kemacetan, yang berkontribusi terhadap peningkatan emisi karbon, cara ini juga dapat mendukung ekonomi lokal sepanjang tahun.
Dengan mendorong praktik pariwisata yang berkelanjutan, pemerintah tetap memperoleh devisa dari industri ini. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo