Tak ada ucapan yang lebih baik untuk Pak Harto dari ini: "Semoga haji Pak Harto dan Ibu Tien, haji mabrur." Kalau Michael Leifer, dalam koran International Herald Tribune, mengatakan bahwa hajinya Presiden Soeharto ada tujuan politis, pendapat itu jelas tidak etis dan semberono. Michael sebagai pakar hubungan internasional, dari The London School of Economics and Political Sciences, tampaknya tidak berpandangan luas, malah picik. Sebab Pak Harto sendiri, dalam bukunya Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, sudah memberi isyarat bahwa inilah jabatannya yang terakhir. Tidak hanya itu saja, sewaktu beliau menerima fungsionaris KNPI pada Januari lalu, beliau dengan rendah hati bergurau, "kenyataannya bahwa makin lama saya makin top. Top bukan berarti makin tinggi, tetapi top dengan dua huruf p, TOPP: Tua, Ompong, Peot, Pikun." Di samping itu, walau tanpa predikat haji, jika Pak Harto masih bersedia, saya rasa rakyat Indonesia akan memilihnya secara bulat. Orang pandai lainnya yang memperbodoh diri adalah Margaret Scoot, seorang wartawan ahli The Far Eastern Economic Review. Dalam The New York Times Magazine terbitan 2 Juni 1991 lalu, Margaret Scoot menulis dengan logika dangkal dan sinis bahwa Pak Harto sedang asyik "memainkan kartu Islam". Jelas, tulisan Margaret itu tidak akurat, malah tergelincir seakan-akan tidak tahu miliu dan realitanya: "apa dan siapa Soeharto" dan "bagaimana Indonesia" setelah dipimpin Soeharto, tokoh yang sudah berkali-kali mendapat penghargaan internasional. Michael dan Scoot tak pernah melihat bahwa bagaimanapun buruk tempatnya, yang namanya emas itu akan tetap emas. Begitu pula Pak Harto, meskipun tanpa haji, kepemimpinan beliau tetap cerah. NY. ELYA MUSIRLAN c/o Swedish Consulate General PO Box 2005 Jeddah 21451 Arab Saudi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini