Belakangan ini, ada kesan seolah-olah kita bingung ke mana harus berkiblat dalam membangun bangsa ini. Ada yang mengatakan, janganlah berkiblat ke Barat. Karena Barat sumber malapetaka dan kehancuran moral, seperti yang ditulis Muhammad Ali (TEMPO, 6 April 1991, Komentar). Tapi ada juga yang mengatakan bahwa Barat itulah gudangnya ilmu pengetahuan dan sumber inspirasi kemajuan, seperti yang ditulis Abdul Haris Booegies (TEMPO, 20 April 1991, Komentar). Tampaknya, kita begitu ribut mempersoalkan dunia luar, terperangah menyaksikan kemajuan mereka. Di sudut lain, kita merasa ngeri melihat dampak globalisasi di bidang informasi, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan semua aspek kehidupan. Sehingga, hidup ini seperti di tengah alas antah-berantah, yang di kiri kanannya berkeliaran binatang buas siap menerkam. Ketakutan itu menyebabkan kita lupa melihat siapa diri kita ini sesungguhnya. Mungkin ini sudah terlalu keruh, sehingga kita tak dapat lagi berkaca. Kita seolah-olah menjadi bangsa yang kecil di tengah pergaulan internasional. Padahal, nenek moyang kita bukanlah bangsa kerdil. Beribu putra sejati sudah lahir di negeri ini: mulai dari Mulawarman hingga Gajah Mada dari Pattimura hingga Teuku Umar dari Cokroaminoto hingga Soekarno dan dari Arnold Mononutu hingga Sudjatmoko. Apakah kita akan kembali tidur setelah leluhur kita bersusah payah membangun negeri ini selama berabad-abad? Atau, terus terlena oleh buaian dunia luar yang memanjakan kita? Sebetulnya, kita tak perlu ribut ke mana harus berkiblat. Karena bangsa yang ingin maju tak semestinya menutup diri terhadap pergaulan internasional. Kita mesti mampu menyerap dan mengantisipasi semua aspek yang hidup dari semua bangsa itu. Ke mana kita berkiblat? Seharusnya kita menjawab dunia inilah tempat berkiblat. Tak hanya ke Timur atau ke Barat, tapi juga ke Utara dan ke Selatan. Bahkan, kalau perlu, ke atas dan ke bawah. Mengapa? Sebab, seburuk apa pun yang sudah diperbuat oleh bangsa lain, kita masih mendapati banyak hal-hal yang positif di sana. Hal-hal positif inilah yang seharusnya kita ambil tanpa harus melepaskan identitas diri sebagai bangsa. Adalah benar apa yang dikatakan Saudara Abdul Haris Booegies yang mengutip pendapat tokoh pembaru Islam, Muhammad Abduh, "Saya tidak melihat Islam di bumi kaum muslim, tapi justru di Barat." Cuma, sayangnya, Abdul Haris meremehkan dunia pesantren dan ilmu yang dipelajarinya. Meskipun saya awam terhadap dunia pesantren, saya melihat ia adalah bagian dari kita, yang tak bisa lepas dari sejarah panjang perjuangan bangsa ini. Malah perannya tidak kecil. Sikap toleransi dan solidaritasnya telah ditunjukkan lewat kepribadian muslim. Itu tidak saja dalam wujud sikap mental spiritual dalam berbangsa, juga dalam pembangunan dan usaha menciptakan stabilitas nasional. Bahkan, banyak dari pemimpin negeri ini, dulunya, bersekolah di pesantren. BAMBANG JOKO SUSILO Karet Semangi Jalan H. Musanib RT 001/05 No. 90 Setia Budi, Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini