Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Protokol kesehatan mengharuskan kita menghindari kerumunan.
Perintah yang menjadi aturan itu membuat makna kerumunan jadi tunggal.
Makna kerumunan bisa bermacam-macam. Mana yang dimaksud dalam protokol kesehatan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANTARAN wabah merayah, kerumunan atau berkerumun di tempat umum harus dicegah. Alasannya tentu sudah sering kita dengar: kerumunan bisa memuluskan virus menyusup dan menular ke mana-mana. Maka “menghindari kerumunan” pun ditambahkan sebagai aturan kesehatan—berentengan dengan “mencuci tangan”, “memakai masker”, dan “menjaga jarak”, yang telah ditetapkan sebagai protokol kesehatan sejak pandemi Covid-19 melanda bumi hampir dua tahun lalu. Tak ada pemilahan jenis kerumunan apa yang harus dihindari dalam aturan itu karena virus juga tidak pilih-pilih sasaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada kalanya imbauan atau perintah “menghindari kerumunan” itu bertubrukan dengan “kerumunan tradisi” milik komunitas tertentu. Arak-arakan, misalnya, termasuk kerumunan yang harus dihindari menurut protokol kesehatan. Tapi, di daerah Kabupaten Madiun, Jawa Timur, dikenal seni ritual dongkrèk—berupa arak-arakan disertai selawatan, petuah, tembang dolanan rakyat, dan sebagainya, mengelilingi desa di malam hari. Mulanya dongkrèk itu tarian anggitan Raden Ngabehi Lo Prawirodipoetro, sesepuh desa, pada abad ke-19, sebagai sesembahan kepada arwah leluhur. Bermetamorfosis menjadi arak-arakan penduduk desa, dongkrèk hingga kini dipercaya komunitasnya sebagai ritus penangkal pagebluk.
Nomina kerumunan merupakan terjemahan dan padanan crowd dalam bahasa Inggris. Seturut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi V, kata itu berarti “kumpulan orang dan sebagainya yang tidak teratur dan bersifat sementara”. Takrif ini tidak menjelaskan kumpulan orang itu sedang ngapain. Tapi tanyaan itu seperti terjawab dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu/Zain (1996) yang memerikan kerumunan sebagai “kelompok orang yang mengelilingi sesuatu atau berkumpul untuk melihat sesuatu”. Jika definisi kedua kamus itu dirames, kerumunan, jadinya, tentang banyak orang berkerubung tak beraturan, melakukan suatu tindakan bersama, dan bersifat sementara.
Batasan tersebut senada dengan arti umum kata Inggris crowd: “a large group of people who have come together” atau “informal a group of friends or a group of people with similar interests” (lihat Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, 2013). Tersebab sifat massalnya, kerumunan berasosiasi dengan situasi “tak dikenal” atau “bukan siapa-siapa”. Nomina the crowd (dengan kata sandang) dalam cakapan Inggris, menurut kamus Merriam-Webster, merujuk pada “ordinary people; people who are not special or unusual”. Tapi, sebaliknya, the crowd juga diimajinasikan sebagai “lingkaran yang memesona”, charmed circle, dan mewah. Istilah the fashionable crowd, contoh klasik, melukiskan kerumunan para perempuan cantik kelas atas berbusana elok, lazim terlihat dalam keramaian atraksi polo di Inggris.
Di Eropa pada abad ke-19, crowd diangkat sebagai konsep ilmiah, khususnya dalam psikologi dan sosiologi. Seorang dokter Prancis, Gustave Le Bon (1841-1931), disebut-sebut sebagai pengkaji awal kerumunan dari sisi psikologi. Ia melihat foules, kerumunan itu, bukan sebagai “agregat sederhana”, melainkan suatu entitas kolektif dengan struktur cukup rumit. Agak beda dengan dalil umum bahwa kerumunan terbentuk karena kebetulan dan sementara, Le Bon melihat “keutuhan” kerumunan juga didasarkan pada reprositas antarindividu di dalamnya (lihat Robert Ezra Park, The Crowd and the Public, 1972). Artinya, kerumunan bisa dengan sengaja dibentuk mengikuti kebutuhan akan interaksi di antara pengerumun.
Sosiolog dadaran Chicago, Herbert Blumer (1900-1987), kemudian memilah-milah jenis kerumunan menjadi casual (contoh: kumpulan orang menyemut di jalan raya), conventional (belajar di kelas), expressive (beribadah/upacara), dan acting (berunjuk rasa). Skema Blumer bisa mengurangi kadar perampatan pada arti kerumunan. Ritus dongkrèk tersebut, misalnya, bisa dilihat sebagai kerumunan ekspresif—bukan semata-mata bertentangan dengan aturan yang berlaku. Sosiologi modern condong “melesapkan” konsep kerumunan ke dalam teori perilaku kolektif (collective behavior). Pada teori ini, kerumunan bisa dilihat sebagai unsur gerakan sosial semacam protes sosial, boikot, gejolak milenarianisme, dan sebagainya.
Di arena politik praktis, kerumunan tampak beroleh ruang yang tepat—diakui atau tidak. Dipandang sebagai sebuah “kekuatan tunggal” yang dibentuk atau terbentuk dari kumpulan orang tanpa ikatan asosiasi formal, kerumunan bisa digiring untuk merespons sesuatu (gejala politis) secara kolektif dan acap kali efektif. Revolusi Prancis pada abad ke-18 bisa jadi contoh tipikal peristiwa politik akbar yang mengerahkan kerumunan besar-besaran—unsur utamanya sansculotes, kaum bercelana panjang-cingkrang—sehingga mampu membedol struktur lapuk monarki dan menggantinya dengan bangunan republika modern hingga kini.
Satu lagi: ada idiom follow the crowd—dalam pikiran penutur Barat menunjuk kepada orang yang tak punya pendirian atawa sikap sendiri. Bisa dipadankan dengan anut grubyuk dalam ungkapan Jawa. Ini soal lain. Tapi, seperti kerumunan di masa pandemi Covid-19, ketiadaan pendirian, dalam makna negatifnya, seyogianya dijauhi karena bisa-bisa tak menyumbang apa-apa bagi kehidupan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo