Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Stimulus untuk para pelaku industri film terlambat dicairkan karena peraturan pelaksanaannya juga terlambat diterbitkan.
Sejumlah rumah produksi enggan menyerap bantuan pemerintah karena diminta menyetorkan laporan pertanggungjawaban pada akhir tahun ini.
Keterlambatan stimulus ini menunjukkan perhatian pemerintah terhadap pekerja seni kreatif masih kurang optimal.
KARUT-marut penggunaan anggaran dana penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) seperti sinetron usang yang tak berkesudahan. Hampir dua tahun pandemi melanda, masih saja ada cerita soal kegagapan pemerintah menyusun skala prioritas dan menyalurkan bantuan. Kali ini kabar miring datang dari sektor perfilman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Digelontorkan Oktober lalu, stimulus Rp 226 miliar dirancang pemerintah untuk merangsang industri film yang kolaps akibat pandemi. Bantuan itu bagian dari Rp 2,4 triliun dana yang dialokasikan pemerintah untuk industri kreatif. Ironisnya, insentif ratusan miliar rupiah itu kini terancam tak terserap maksimal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyebabnya lagi-lagi masalah klasik. Begitu diluncurkan, dana program tersebut harus langsung dipertanggungjawabkan dua bulan kemudian. Diumumkan Oktober, pada pertengahan Desember 2021 laporan penggunaan dana harus sudah dikirimkan. Padahal dana produksi untuk film fiksi dan film dokumenter pendek baru akan cair pada pekan pertama dan kedua Desember. Model pencairan stimulus semacam ini tentu terkesan main-main. Proses produksi sebuah film tak mungkin selesai dalam hitungan pekan.
Akibatnya bisa ditebak. Tenggat pelaporan yang terlalu mepet membuat sejumlah rumah produksi enggan menyerap bantuan. Kacau balaunya penyaluran insentif ini jelas menunjukkan pemerintah tidak serius membantu industri film. Lemahnya sistem perencanaan pemerintah kini merugikan sektor yang justru sedang amat membutuhkan bantuan.
Bukan hanya itu. Stimulus pemerintah juga baru menyentuh rumah produksi menengah ke bawah. Skema dan jumlah stimulus yang digelontorkan, baik untuk pra-produksi maupun biaya promosi, tidak masuk kalkulasi bisnis sebagian besar rumah produksi menengah ke atas. Padahal selama ini merekalah yang menjadi motor pertumbuhan industri perfilman kita.
Kekacauan ini jelas menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah membangun industri film dalam negeri. Ketika pemerintah merancang program pemulihan ekonomi nasional (PEN), sektor perfilman bahkan tak masuk hitungan. Pembahasan baru berlangsung setelah pelaku industri film mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo pada Maret lalu. Mereka menjerit karena penutupan bioskop selama masa pandemi otomatis memangkas pemasukan. Kita tahu, sebagian besar pendapatan mereka bersumber dari pemutaran film di layar lebar.
Sayangnya, kepedulian Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif terhadap para pekerja film masih kurang optimal. Menteri Pariwisata Sandiaga Uno tampak sibuk dengan sejumlah program yang sayangnya hanya indah di permukaan, tapi tidak menyentuh akar persoalan. Perhatian pada pengembangan ekosistem dan kapasitas industri seni kreatif masih amat kurang.
Padahal kontribusi ekonomi kreatif terhadap produk domestik bruto dari tahun ke tahun terus meningkat. Dua tahun lalu, kontribusi industri ini terhadap PDB mencapai Rp 1,105 triliun, naik hampir dua kali lipat dari Rp 526 triliun pada 2010. Angka itu menunjukkan bahwa sektor ini bisa menjadi motor pertumbuhan di masa depan.
Memang belum terlambat untuk memperbaiki skema penyaluran dana PEN sebagai stimulus industri film ini. Tapi ada persoalan yang lebih mendasar. Jika pemerintah serius membenahi industri kreatif, kebijakan untuk para pekerja seni kreatif harus ditata lebih baik dan sistematis. Sesuaikanlah kata dengan perbuatan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo