Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mengapa Arjuna tak pernah tertawa meski ia sedang berbicara dengan punakawan yang lucu?
Tertawa adalah subversi bagi ketertiban.
Makna tertawa yang bisa memanusiakan manusia kembali.
—sebuah kado yang tak lucu untuk Butet Kartaredjasa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI layar, di panggung, Arjuna tak pernah tertawa. Wayang itu selalu tegak dengan kepala merunduk dan bibir yang menggariskan diam, mungkin senyum yang sayup. Juga ketika di sekitarnya empat badut istana, para punakawan, menjungkirbalikkan tubuh dan kata-kata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di layar, di panggung, Arjuna tak mengacuhkan humor. Ia tak terbawa guyon dan lelucon. Adegan jenaka sepenuhnya dibangun dalang untuk penonton. Dalam pakem wayang, seorang kesatria menyimpan rapat-rapat gelak dan rasa gelinya; dengan itulah mereka menghimpun wibawa. Sebagai kasta, mereka ada untuk menang dan menaklukkan. Dalam Bhagavat Gita, Kresna menyebutkan kesatria mesti memiliki īśhvara, kepemimpinan, dan sifat tangguh, dhṛitiḥ. Tegar dan siaga membentuk karakter kasta ini. Mereka dingin, kalem, angker, waspada. Tak ada saat lengah, tak ada perilaku ugal-ugalan—praktis tak ada sikap yang santai.
Para samurai dalam sejarah Jepang contoh yang lain. Kisah tentang mereka umumnya berada di luar jalur komedi. Dalam film Tujuh Samurai yang terkenal itu sutradara Akira Kurosawa menghadirkan sebuah model: Kyūzō. Ia samurai yang hampir tak pernah ketawa, sedikit bicara, teguh mengendalikan gerak dan emosi, melatih diri terus-menerus, dan terampil dengan pedang. Ia mampu membunuh dengan lekas dan persis, siap menebas musuh bahkan saat terbangun dari tidur. Memandang sosok ini, Katsushirō, samurai muda, terpesona. Ketika ia menemui Kyūzō dan dengan bergelora mengungkapkan rasa kagumnya, samurai ulung itu hanya diam. Cuma tampak sedetik senyum lamat-lamat di mulutnya setelah Katsushirō pamit. Senyum itu seperti cemooh.
Kesatria dan samurai adalah subyek yang hidup antara mati dan menang. Jika mereka jauh dari ketawa, itu karena humor tak berniat menaklukkan. Humor bahkan bisa jadi oposisi bagi para penakluk. Seorang penulis kocak yang pernah hidup di bawah kekuasaan Partai Komunis Cekoslovakia, Milan Kundera, mengatakan, “Dalam sistem totaliter, tak ada yang lebih ditindas ketimbang ketawa.” Ia melarikan diri ke Prancis.
Ketawa adalah disrupsi bagi ketertiban—dan terbit dari sana. Bayangkan apa yang akan terjadi jika dalam parade militer Korea Utara ada seorang prajurit yang ketawa geli. Parade selamanya usaha menampilkan kemampuan menata sejumlah besar manusia, menjadikan mereka rapi, rampak, reguler. Barisan dan gerak tubuh dibentuk dengan keyakinan bahwa tertib itu indah dan kepatuhan sebuah metode yang ampuh.
Tentu saja tak hanya dalam parade militer. Film Charlie Chaplin Modern Times menunjukkan bahwa pabrik modern hidup dengan memperlakukan buruh sebagai sekrup-sekrup kecil sebuah mesin besar: tak punya keleluasaan bahkan untuk mengusir capung. Film ini lucu karena menggambarkan bagaimana Chaplin, proletar konyol dan kontet itu, dengan canggung (dan gagal) jadi onderdil. Bentrok itu jenaka.
Tapi sebenarnya yang membuat kita tergelak bukan hanya gerak-gerik si Chaplin yang kalang kabut mengikuti keteraturan. Yang juga menggelikan absurditas pabrik itu seluruhnya: sang majikan ingin memasang mesin yang rumit di tubuh buruh agar makan siang mereka efisien. Henri Bergson, dalam Rire (“Tertawa”), renungannya tentang humor, menulis: yang juga menggelikan adalah sebuah dunia yang tak bisa luwes—kehidupan yang sepenuhnya dibentuk raideur de mécanique, keajekan yang mekanistis.
Khaos yang dibawakan Chaplin justru pembebasan yang tak disengaja. Tubuhnya tak sepenuhnya pas untuk ketertiban. Dipaksa mekanistis, ia malah membuat kacau. Tapi ia memang manusia, dan manusia, makhluk dengan élan vital—dengan gelora hidup yang tak bisa beku—cenderung membentur pola yang ajek. Tapi di situlah ia lebih menyentuh ketimbang ketika jadi otomaton. Dalam film Shoulder Arms, Chaplin adalah serdadu yang tak pernah bisa berdiri dan bergerak seragam dengan prajurit lain. Ketika ia salah melangkah dalam berbaris, ia tampak seakan-akan menari bebas. Momen itu memanusiakannya kembali.
Dalam saat-saat seperti itu, tertawa kita sebuah simpati. Tertawa kita bukan sarkasme yang mengolok-olok. Kita tak sedang menikmati nasib sial orang lain. Mungkin itu sebabnya kita menyukai Gareng, Petruk, Bagong, Cangik, dan Limbuk. Mereka, dengan paras yang grotesk, bentuk tubuh yang seperti ubi jalar, bahasa yang berantakan, memulihkan kontak kita dengan hidup—bukan dengan ketertiban para aristokrat yang, dalam niat permanen untuk menaklukkan orang lain, sebenarnya mengurung diri dengan koridor emas yang berlekuk-lekuk.
Arjuna ramping dan rupawan, tapi ia jauh dari dunia jenaka, dunia “gandrik”. Ia tak tersentuh “senyuman akal budi”, smile of reason, untuk meminjam sepasang kata dalam The Legacy of Nietzsche’s Philosophy of Laughter karya Lydia Amir yang baru terbit: humor yang membuat kita mesra dengan apa yang membuat kita ketawa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo