Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Kisah tasrip dan kasta

7 anak penjaja koran di jalan depan rs st. carolus, jakarta,ditabrak mobil yang dikemudikan irwan bagya. tasrip tewas, kasta luka berat & 5 anak dibolehkan keluar rs. keluarga tasrip menerima bantuan.

13 Mei 1989 | 00.00 WIB

Kisah tasrip dan kasta
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SORE itu, sekitar pukul 15.30, seperti biasa serombongan anak-anak penjaja koran bergerombol di dekat lampu lalu lintas, di jalur tengah pemisah jalan, depan Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta Pusat. Lampu kuning menyala. Dari arah Matraman, sebuah jip Toyota Hardtop warna hijau meluncur kencang. Saat jip mendekati lampu lalu lintas, lampu merah menyala. Di depan Jip, sebuah mobil berhenti dengan patuh. Sang pengemudi jip tampaknya berusaha menghindari tabrakan dengan membanting setir ke jalur pemisah jalan. Tanpa ampun lagi, gerombolan penjual koran itu pun kena terjang. Kerumunan pun terjadi saat itu, 25 April 1989. Enam orang anak yang terluka segera dilarikan ke R3mah Sakit Cipto Mangunkusumo. Seorang anak, Tasrip, 11 tahun, ditemukan tersuruk di kolong jip. Tubuhnya remuk. Maut memang datang terlalu cepat buat Tasrip. Maut juga masih mengancam Kasta, 14 tahun, kakak kandun Tasrip. Luka di kening dan bagian belakang kepalanya menyebabkan Kasta, yang hitam dan sangat kurus, tak pernah sadarkan diri sejak kecelakaan itu terjadi. Ia mengalami gegar otak. Lima anak lainnya, sampai Rabu pekan lalu, telah boleh pulang. Derita dan air mata pun benderai di sebuah rumah petak sewaan di Kelurahan Kampung Rawa, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat. Di sinilah tempat tinggal Tasrip dan Kasta bersama 6 anggota keluarganya. Sebuah rumah berdinding tripleks, di gang sempit yang sangat kumuh, terdiri dari dua kamar berukuran 3 x 3,5 meter (yang satu di tingkat atas), yang hanya dialasi tikar. Buat Nyonya Rohana, 39 tahun, ibu Tasrip dan Kasta, kematian kedua anaknya itu bagai kelanjutan dari sebuah derita yang berkepanjangan. Ayah mereka sudah meninggal sembilan tahun yang lalu. Lima tahun yang lalu, sang ibu kawin lagi dengan Jumpo, seorang pesuruh restoran kecil di Rawamangun, Jakarta Timur. Dengan penghasilannya, Jumpo tak bisa menghidupi keluarga. Rohana. Sebab ia sendiri telah mempunyai istri yang lain serta sejumlah anak. Padahal, perkawinannya dengan Rohana menghasilkan tambahan dua anak, dan Rohana sendiri sekarang sedang mengandung anaknya yang ketiga dengan Jumpo. Maka, praktis penghidupan Rohana sekeluarga tergayut di pundak Tasrip dan Kasta, yang menjadi penjaja koran sejak dua tahun yang lalu. Keduanya bisa mengumpulkan uang Rp 6.000 per hari kalau lagi mujur -- artinya banyak berita hangat. Kalau lagi sepi, pahng mereka dapat Rp 3.000. Dengan uang itu, sebenarnya Tasrip dan Kasta mampu membiayai sekolahnya. Tapi. menurut Rohana, prestasi belajar Kasta amat jelek. Dia sering berpindah-pindah sekolah, tapi tetap tak naik kelas. Setahun yang lalu, ia masih duduk di kelas I Madrasah Attaufik Walhidayah di Kampung Rawa, dan akhirnya ia berhenti. Tasrip lebih lumayan. Ia sudah kelas IV SD di kampungnya. Tapi sejak berjaja kran, dua tahun lalu, prestasi belajarnya merosot terus. Mungkin karena ia tidak sempat belajar. Pulang dari sekolah, pukul 12 siang, ia langsung berjaja koran dan sering baru pulang ke rumah pukul 22.00. Akhirnya, tujuh bulan yang lalu, Tasrip pun memilih berhenti sekolah. Sang penabrak, Irwan Bagya, 28 tahun, adalah putra seorang karyawan swasta, dan kini masih ditahan Polsek Senen, Jakarta Pusat, beserta mobil Hardtop itu. Tiga temannya di dalam mobil kini sudah dilepaskan polisi. "Mereka memang ngebut. tapi bukan sedang mabuk-mabukan," ujar seorang polisi.di sana. Kisah Tasrip dan Kasta, serta derita Ny. Rohana, rupanya mencairkan banyak hati di Jakarta. Perusahaan asuransi Jasa Raharja dengan sigap, pekan lalu, memberi santunan Rp 1 juta atas kematian Tasrip. Eno Suhana, ayah Irwan Bagya, menyumbang pula Rp 725.000. Lalu ada lagi sumbangan Rp 100.000 dari seorang yang menamakan dirinya "Pembaca Tomang". "Saya belum pernah memegang uang sebanyak ini," kata Rohan kebingungan. Entah uang ini untuk apa."Amran Nasution, Priyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum