Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Partai Baru Dagangan Lawas

LOLOSNYA Partai Gerakan Perubahan Indonesia, Partai Berkarya, Partai Persatuan Indonesia, dan Partai Solidaritas Indonesia dalam seleksi peserta Pemilihan Umum 2019 merupakan keniscayaan demokrasi. Konstitusi memberikan hak kepada setiap warga negara untuk berkumpul dan berserikat, termasuk membentuk partai politik, dan keempat partai baru itu memenuhi syarat yang digariskan Komisi Pemilihan Umum.

27 Februari 2018 | 06.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya Tommy Soeharto dalam acara silaturahmi Partai Berkarya di Graha Granadi, Jakarta Selatan pada Senin, 19 Februari 2018. Tempo/Zara Amelia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOLOSNYA Partai Gerakan Perubahan Indonesia, Partai Berkarya, Partai Persatuan Indonesia, dan Partai Solidaritas Indonesia dalam seleksi peserta Pemilihan Umum 2019 merupakan keniscayaan demokrasi. Konstitusi memberikan hak kepada setiap warga negara untuk berkumpul dan berserikat, termasuk membentuk partai politik, dan keempat partai baru itu memenuhi syarat yang digariskan Komisi Pemilihan Umum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Patut disayangkan, kehadiran partai-partai baru tidak menambah pilihan politik masyarakat. Bersama sepuluh partai lama yang juga lolos seleksi-Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Nasional Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Demokrat-mereka hanya menambah riuh gelanggang politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang "berbeda" adalah Partai Berkarya. Partai yang disponsori Hutomo Mandala Putra, anak bungsu mantan presiden Soeharto, itu hendak "membangkitkan" Orde Baru. Mereka mengincar pencinta Orde Baru atau pemilih yang, karena kecewa terhadap hasil reformasi yang telah berjalan 20 tahun ini, mengharapkan rezim Soeharto kembali melalui anak-anaknya.

Membidik pencinta Orde Baru, target suara Partai Berkarya diduga akan sulit dicapai karena sebagian besar pemilih pada 2019 adalah anak muda yang belum tentu mengenal pemerintahan Soeharto. Dari sisi misi, partai ini berbahaya karena ingin mengembalikan kekuasaan lama ala Soeharto yang sentralistis dan tak partisipatif.

Soeharto dulu mengekang kebebasan berpendapat dan berpolitik, korup, serta royal memberikan subsidi dari pinjaman luar negeri. Rakyat bergerak menumbangkan Orde Baru pada 1998 justru karena muak terhadap otoritarianisme Soeharto yang ditopang Golkar dan militer selama 30 tahun lebih.

Seharusnya partai dibentuk dengan niat yang lurus, yakni memberikan pilihan politik bagi kelompok yang belum terwakili oleh partai lama. Luiz Inacio Lula da Silva melakukan hal itu ketika mendirikan Partai Buruh di Brasil. Dalam membesarkan partainya, dia menggunakan pendekatan baru, yakni mengutamakan arus bawah dan memprioritaskan partisipasi publik. Dia juga berikrar menghilangkan kelaparan, yang menjadi momok bagi orang miskin di negeri itu. Meski tak sepenuhnya dapat menepati janjinya, Lula memberikan harapan. Dia terpilih menjadi Presiden Brasil selama dua periode (2003-2011).

Partai politik baru di Indonesia pada era demokrasi liberal juga memberikan harapan dan pilihan baru. Partai Sosialis Indonesia, contohnya, muncul sebagai gerakan sosialisme demokratis. Partai berbasis kader ini menjadi magnet kaum intelektual, terutama di daerah perkotaan. Kemudian ada Partai Masyumi dengan ideologi Islam. Kalau saja Nahdlatul Ulama tidak memisahkan diri dan ikut pemilihan, Masyumi pasti mengungguli Partai Nasional Indonesia dan memenangi Pemilu 1955. Bahkan Partai Komunis Indonesia, ketika muncul kembali dalam pentas politik di masa itu, amat mempesona lantaran menawarkan pembelaan terhadap petani dan kaum proletar.

Sekarang, kita punya makin banyak partai, tapi mutu demokrasi tidak naik kelas. Hanya lapak yang bertambah, sementara dagangannya lawas dan seragam. Lewat berbagai propaganda, semua partai berbicara tentang kemiskinan, demokrasi, dan antikorupsi. Semuanya membela petani dan guru serta menawarkan program subsidi pendidikan dan kesehatan.

Begitulah jadinya kalau partai dibentuk semata-mata untuk mengejar kekuasaan, pengaruh, dan akses politik. Batas ideologis antarpartai gampang dikesampingkan untuk tujuan pragmatis tersebut. Politik uang dihalalkan dan simbol agama digunakan sama banyaknya oleh partai nasionalis dan yang secara terang membawa nama agama.

Lihat saja tarik-menarik dalam penetapan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang itu membuka peluang bagi DPR untuk mengkriminalkan masyarakat. Namun semua partai yang menyandang kata "demokrasi" dalam namanya justru mendukung aturan tersebut. Di sisi lain, PPP menolak untuk alasan yang diduga prakmatis: tidak kebagian tambahan kursi pimpinan DPR dan MPR yang turut ditetapkan dalam undang-undang itu.

Indonesia negara besar dengan banyak kutub yang membutuhkan keterwakilan politik. Komisi Pemilihan Umum semestinya memperketat seleksi pada periode mendatang, tidak hanya administratif, tapi juga memperhatikan orisinalitas dalam ideologi serta visi dan misi. Dengan demikian, partai yang lolos seleksi akan mewakili keberagaman pilihan politik publik.

Masyarakat membutuhkan partai baru yang memberikan harapan baru, bukan pembebek atau yang hendak mengembalikan rezim otoriter.

Ali Umar

Ali Umar

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus