Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
USULAN pemakzulan Presiden Joko Widodo barangkali tidak akan berujung pada kejatuhan mantan Wali Kota Solo itu. Namun kampanye untuk mengakhiri kekuasaan Jokowi lebih cepat itu bisa dilihat sebagai wujud kemarahan publik atas campur tangan berlebihan sang Presiden dalam proses pemilihan umum kali ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekelompok tokoh senior yang menamakan diri “Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat” mengkampanyekan pemakzulan Jokowi. Mereka mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat agar mencabut kekuasaan presiden itu dengan dalih ingin mencegah kejahatan politik Jokowi dan keluarganya. Di tengah kekuatan politik di DPR yang terpecah konstelasi koalisi pemilihan umum, usulan itu sulit diwujudkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prosedur pemakzulan presiden pun tak sesederhana dulu, sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diamendemen. Presiden dan wakil presiden hanya bisa dijatuhkan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara serta melakukan korupsi dan tindak pidana berat lain.
Presiden juga bisa diberhentikan jika melakukan perbuatan tercela. Secara prosedur, DPR juga harus mengajukan usulan pemberhentian kepada Mahkamah Konstitusi—lembaga yang baru saja mengubah aturan pemilihan presiden dan memungkinkan anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden. Walhasil, usulan petisi itu menghadapi jalan panjang.
Jika demikian, para tokoh senior itu bisa kita lihat sedang melawan langkah-langkah politik Jokowi. Menjelang akhir kekuasaannya, Presiden mengambil berbagai manuver untuk memastikan kekuasaan berpindah ke Prabowo Subianto, lawan politiknya pada pemilihan presiden 2014 dan 2019 yang kini berpasangan dengan Gibran. Banyak keputusan pemerintahan Jokowi yang diambil berbasis pertimbangan elektoral pasangan itu, bukan kepentingan masyarakat banyak.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga bersikap hipokrit soal netralitas politik aparat negara. Ia menyampaikan di depan publik perlunya pejabat dan aparatur sipil negara berlaku netral dalam pemilihan. Namun, di lapangan, aparat secara sistematis bergerak demi memenangkan Prabowo-Gibran. Menteri-menteri Jokowi juga banyak menggunakan fasilitas negara dalam kegiatan politik pasangan itu. Jokowi sendiri berlaku seolah-olah menjadi ketua tim kemenangan—terlihat dari berbagai kegiatannya yang membayangi aktivitas kampanye calon presiden pesaing Prabowo.
Standar etika diterapkan begitu rendah. Banyak pembantu Jokowi berlaku jemawa hanya mengejar kemenangan demi langgengnya kekuasaan yang kini mereka genggam. Kekuatan jaringan militer, polisi, serta birokrasi disalahgunakan. Maka tak mengherankan jika muncul gerakan semacam Petisi 100, yang mengkampanyekan pemakzulan Presiden. Kelompok ini bisa jadi hanya puncak gunung es dari sikap kritis masyarakat lebih luas.
Baca liputannya:
Langkah-langkah politik kekuasaan kali ini mengingatkan pada peristiwa masa lalu. Menjelang akhir kekuasaannya pada 1998, rezim Soeharto yang berkuasa tiga dekade berlaku pongah dengan tiga penopang kekuatannya: tentara, birokrasi, dan Golongan Karya. Mereka berlaku sewenang-wenang, termasuk mempertontonkan kejemawaan. Misalnya program “Kuningisasi Jawa Tengah”—yang antara lain dilakukan dengan mengecat gapura batu kawasan Candi Borobudur menjadi kuning. Hanya beberapa saat, kekuasaan yang seolah-olah kukuh itu runtuh.
Jika penyalahgunaan kekuasaan terus dilakukan buat memenangkan kroni dan anak Jokowi, bukan mustahil, sejarah akan terulang. Kekuasaan yang seolah-olah kuat dijauhi masyarakat yang marah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Perlawanan pada Kekuasaan yang Jemawa"