Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADALAH tugas polisi membongkar jaringan kriminal pembuat dan penyebar berita palsu. Kewajiban itu semestinya dijalankan dengan patut agar kepolisian tidak melempar tuduhan kosong, yang justru bisa masuk kategori pembuat informasi tidak benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi mengklaim telah membongkar penebar berita palsu alias hoaks yang beroperasi dalam jejaring percakapan virtual, WhatsApp, bernama Muslim Cyber Army. Grup dunia maya itu disebut bernama The Family Cyber Army. Para penyidik kepolisian sudah semestinya membuktikan tuduhan itu, dengan menemukan bukti adanya penyebaran berita palsu secara terencana, terstruktur, dan masif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Platform percakapan digital seperti WhatsApp menyediakan aneka fasilitas untuk berdiskusi dalam grup beranggotakan banyak orang. Anggotanya dengan mudah menulis dan menyebarkan berbagai hal, termasuk berita bohong, yang dengan cepat akan berpindah ke kelompok diskusi virtual lainnya. Tidak semua penyebarnya bermotif jahat. Apalagi, di dunia maya, seseorang memang cenderung menggunakan bahasa yang berlebihan buat menarik perhatian orang lain, misalnya ketika mengkritik pemerintah.
Di sinilah polisi perlu bekerja keras menemukan keterkaitan anggota grup The Family Cyber Army dengan pelanggaran pidana. Penyelidik juga mesti mencari tahu informasi rinci tentang bagaimana kelompok itu bekerja, siapa otaknya, dan apa motifnya. Tanpa bukti kuat, kasus ini akan mentah seperti ketika polisi mengklaim membongkar jaringan Saracen.
Dalam kasus Saracen, polisi mengumumkan seakan-akan telah menemukan bukti bahwa kelompok ini punya motif politik untuk menggulingkan pemerintah Joko Widodo. Katanya, Saracen menyebarkan kabar bohong dan menghasut menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di media sosial. Saracen disebutkan memiliki situs Internet yang membabarkan struktur pengurus, antara lain berisi pengacara Eggi Sudjana dan pensiunan tentara, Ampi Tanudjiwa. Nyatanya, nama mereka hanya dicatut Jasriadi, pengusaha rental mobil yang disebut-sebut sebagai Ketua Saracen.
Dalam persidangan kasus Jasriadi ataupun Sri Rahayu Ningsih, ibu rumah tangga anggota Saracen, tak terungkap bukti yang menunjukkan Saracen sebagai organisasi terstruktur dan memiliki motif politik. Pengadilan hanya bisa membuktikan kelompok ini menyebarkan ujaran kebencian melalui berita bohong di media sosial. Jasriadi dinyatakan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, aturan yang dianggap bermasalah oleh para aktivis prodemokrasi pada saat pembentukannya.
Kejernihan berpikir semua pihak terus diuji pada era media soal ini. Platform ini memungkinkan semua orang menyediakan berbagai informasi, baik yang bernilai mutiara maupun sampah. Semua paham, berita sampah di dunia maya bisa sangat berbahaya di kehidupan nyata. Seorang lelaki berpakaian kumal di Cilegon, misalnya, tewas dikeroyok massa pada Maret tahun lalu. Ia dituduh terlibat penculikan anak, kasus yang sebenarnya tidak pernah ada tapi informasi palsunya tersebar di media sosial. Sayangnya, tidak semua penyebaran berita palsu berkaitan dengan kejahatan.
Dalam hal ini, kepolisian perlu berhati-hati agar tindakan yang dimaksudkan untuk memerangi berita palsu tidak malah melanggar kebebasan masyarakat untuk berpendapat. Bagaimanapun, demokrasi menyediakan hak bagi publik untuk menyampaikan kritik sekeras apa pun kepada pemerintah.