APAKAH sosialisme masih punya masa depan? Setelah rontoknya sistem ekonomi dan politik negara-negara yang menamakan diri sosialis di Uni Soviet dan Eropa Timur, pertanyaan ini menghangat kembali. Di satu pihak, pencinta pasar bebas di Amerika dan Eropa Barat sedang menepuk dada seraya membanggakan kemenangan pandangan mereka. Di pihak lain, di Eropa Timur dan juga di Eropa Barat, di tengah-tengah riak-riuhnya perayaan, sayup-sayup terdengar sebuah harapan: supaya nilai-nilai sosialisme yang baik tidak terbawa hanyut oleh ombak dahsyat kapitalisme yang sedang melanda mereka. Nilai-nilai yang dimaksud adalah pemerataan sosial ekonomi serta perlawanan terhadap segala bentuk komersialisasi hubungan antarmanusia. Pada awalnya, di abad ke-19, sosialisme muncul di negara industri untuk melawan apa yang dianggap umum sebagai dua kecenderungan buruk kapitalisme: ketimpangan ekonomi, tempat segelintir orang meraih sebagian besar hasil pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan politik, tempat kaum borjuis -- yang segelintir itu tadi -- menguasai pemerintahan karena berhasil memonopoli sumber daya ekonomi. Dua ratus tahun lebih setelah Revolusi Industri meletus di Eropa, harus diakui bahwa ketimpangan ekonomi dan politik masih merupakan persoalan hampir di semua negara Barat. Di Amerika sekarang, keadaan orang miskin, terlebih-lebih kaum tunawisma, betul-betul menyedihkan. Lagi pula, banyak studi akademis membuktikan bahwa sistem pengambilan keputusan di pemerintahan sangat dipengaruhi orang berada, diukur dari tingkat kekayaan, pendidikan, jenis pekerjaan, dan lain sebagainya. Namun, harus dicatat pula prestasi politik dan ekonomi yang dicapai oleh negara-negara Barat sejak akhir-abad ke-19, khususnya sejak Perang Dunia Kedua. Sekarang kami menikmati, secara umum, kemakmuran yang lebih luas dan partisipasi yang lebih menyeluruh dalam sistem ekonomi yang terus berkembang dan sistem politik yang stabil dan demokratis. Penting juga untuk diketahui, di antara kami ada variasi: pemerataan ekonomi jauh lebih berhasil di Swedia, misalnya, ketimbang di Amerika Serikat. Kenyataan ekonomi dan politik ini, baik yang umum maupun variasinya, ternyata tidak bisa dipahami melalui lensa para pemikir sosialis abad lalu. Keterangan para ideolog pasar bebas, bahwa kapitalisme telah mengungguli sosialisme, juga tidak kena. Prestasi Barat tidak disebabkan kemenangan salah satu ideologi secara mutlak, melainkan interaksi antara berbagai pendekatan dan teori termasuk kapitalisme dan sosialisme dalam beberapa versi, dengan belbagai gerakan sosial dan politik. Hasilnya adalah apa yang sekarang dinamakan welfare state, negara kesejahteraan. Ciri khas welfare state di bidang politik adalah pluralism, yaitu kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah, yang dibagi luas kepada banyak kelompok masyarakat. Di bidang ekonomi, ciri khasnya adalah kombinasi peran negara dan peran pasar untuk sejauh mungkin mencapai keseimbangan antara dua tujuan: pertumbuhan dan pemerataan atau distribusi. Kombinasi ini pragmatis, yaitu berubah menurut keadaan ekonomi, sasaran kebijaksanaan, dan koalisi politik yang sedang berkuasa, dan belum pernah dibakukan dalam sebuah teori ekonomi politik. Pelajaran apakah yang dapat ditarik dari pengalaman ini untuk Dunia Ketiga, termasuk Indonesia? Pertama, istilah sosialisme sebaiknya tidak disamakan dengan apa yang dilakukan selama ini oleh Uni Soviet, Eropa Timur, dan negara-negara komunis lain. Cabang mereka, yang mengandalkan partai tunggal dan peran ekonomi pemerintah yang mutlak, memang sudah lama layu dan sekarang sudah mati. Akan tetapi cabang itu bukan satu-satunya yang tumbuh di pohon sosialisme. Kedua, jiwa dan semangat sosialisme, yang menghendaki pemerataan, sangat diperlukan di Dunia Ketiga untuk mengimbangi teori pasar murni yang sedang naik daun di dunia akademis dan media internasional berkaliber berat, misalnya The Asian Wall Street Journal. Dalam teori ini pemerintah diberi peran yang sangat minimal selaku penjamin aturan main di pasar, dan tidak dibenarkan melakukan intervensi apa pun, termasuk redistribusi hasil pertumbuhan melalui anggaran belanja negara. Padahal, tidak ada ekonomi di Asia Timur atau Tenggara yang tumbuh dengan baik tanpa campur tangan pemerintah. Yang menjadi persoalan adalah not whether but how, bukan apakah tetapi bagaimanakah. Ketiga, "kapitalisme" bukan musuh sosialisme melainkan mitranya. Yang saya maksudkan dengan "kapitalisme" tentunya bukan citra pemikir sosialis abad ke-19, tetapi kenyataan welfare state sekarang ini. Pengalaman satu abad ini membuktikan bahwa sistem produksi yang terbaik adalah "kapitalisme", dalam pengertian insentif pasar, yang jauh melebihi insentif lain sebagai motivator tingkah laku ekonomi seseorang. Tanpa laju pertumbuhan yang tinggi, usaha pemerataan apa pun tidak akan membawa hasil yang memuaskan, seperti kelihatan di Uni Soviet dan Eropa Timur. Oleh karena itu, sosialisme di masa depan harus berdamai dengan insentif pasar. Keempat, terakhir dan terpenting, adalah keperluan yang sangat mendesak untuk new policy thinking, pemikiran baru mengenai kebijaksanaan pemerintah terhadap pemerataan ekonomi. Tugas ini tidak enteng. Yang dibutuhkan dua hal: kesadaran bahwa kebijaksanaan sosialis lama -- khususnya pengandalan yang berlebihan kepada negara -- sudah kedaluwarsa dan kemampuan untuk membuat beberapa pendekatan inovatif yang mengawinkan hukum ekonomi pasar dengan tujuan pemerataan. Satu contoh: kebijaksanaan pemerintah yang menggunakan insentif pasar untuk menciptakan jutaan wiraswastawan kecil dan menengah di kota-kota kecil dan pedesaan. Sejauh ingatan saya, belum pernah ada pemikir sosialis di Dunia Ketiga yang mengusulkan kebijaksanaan yang berbau kapitalis seperti ini. Sebetulnya, penganut teori pasar murni juga tidak begitu memperhatikan siapa menjadi wiraswastawan, asal kegiatan mereka efisien. Tetapi apakah ada policy yang lebih dapat meletakkan fondasi kukuh untuk pemerataan ekonomi (dan sekaligus demokratisasi politik)?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini