Orang masih perlu minta tolong pada hukum agar tetap selamat ketika minta pertolongan dokter. Jaminan perlindungan diperlukan supaya tidak ada yang jadi korban salah praktek dokter. Terlalu banyak sudah cerita tentang pasien yang justru menderita ketika mencari penyembuhan, akibat cara penanganan dokter yang tak seperti semestinya. Undang-undang yang mengatur bagaimana praktek yang benar belum ada. Karena itu, harus segera dibuat.
Orang sakit berobat dengan percaya penuh pada dokter yang menolong, sampai termasuk pasrah menerima kemungkinan gagalnya pengobatan. Kepercayaan itu diperlukan karena dokter memang membutuhkan keleluasaan agar bisa bertindak dengan baik. Lagi pula rasa percaya itu juga ada fungsinya bagi penyembuhan. Yang tidak bisa diterima adalah risiko kegagalan akibat keteledoran. Sudah sejak dulu orang insaf bahwa memberi kepercayaan penuh sama artinya dengan memberi kekuasaan, semacam monopoli, ke pihak dokter. Kemungkinan kesewenang-wenangan pasti terbuka pada setiap pemakaian kekuasaan. Tanggung jawab dokter, karena itu, dituntut agar sama besar dengan kepercayaan yang didapatnya.
Jaminan adanya tanggung jawab itulah yang sekarang akan diwujudkan dengan nyata melalui hukum, tentang apa yang boleh dan dilarang, dalam sebuah undang-undang tentang praktek kedokteran. Undang-undang tentang kesehatan memang sudah ada, tapi tentang bagaimana praktek dokter yang benar atau salah sampai sekarang baru diatur dalam etika kedokteran saja. Pengalaman membuktikan, etika saja belum cukup menjamin kepentingan pengguna jasa pelayanan medis, pihak yang tidak berdaya dalam hubungan dokter dan pasien. Sanksi pelanggaran etika yang diputuskan oleh Majelis Kehormatan Etika Kedokteran biasanya dirasa kurang setimpal dan dianggap cenderung memihak pada dokter, sedangkan cedera korbannya sering tak terpulihkan lagi.
Dua buah Rancangan Undang-Undang Tentang Praktek Kedokteran sudah disusun, dan telah masuk agenda DPR, satu draf berasal dari Departemen Kesehatan, dan ada yang dirancang Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pembahasan mungkin baru akan dimulai setelah pemilihan umum. Sementara itu, isinya masih diperdebatkan karena belum ada kesesuaian pendapat sejauh mana pengaturan pantas dan perlu dilakukan. Pada prinsipnya, harus dicari keseimbangan yang tepat agar pengawasan pada dokter tidak berubah jadi belenggu bagi pekerjaan dokter, yang tujuannya bermanfaat bagi pasien sendiri.
Memang tidak mudah menetapkan batas-batasnya. Mula-mula yang harus ditetapkan ialah standar profesi dokter, termasuk di dalamnya ialah patokan tentang pelayanan medis dan perilaku yang sesuai dengan tanggung jawab dokter. Diharapkan, dengan adanya standar tertulis yang jelas, akan lebih mudah mengukur mana kegagalan yang tak terelakkan, dan mana yang akibat inkompetensi, kesembronoan, atau keteledoran semata-mata. Yang kurang hati-hati kena sanksi.
Kesimpulan belum dicapai. Namun, harus diingat bahwa akhirnya yang harus dilindungi ialah hak pasien, sehingga pembuatan undang-undang tidak malah menjadikan pihak pengguna jasa medis menanggung beban lebih berat. Dokter perlu melindungi dirinya dari risiko gugatan dengan menutup asuransi, atau mencadangkan ongkos pengacara dan membayar ganti rugi. Pada gilirannya, biaya ini akan dibebankan pada tarif dokter yang harus ditanggung pasien juga. Kemungkinan perkembangan ke arah ini harus disadari, yang sekalipun ingin disesali tapi dalam jangka panjang tampaknya tak terelakkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini