BICARA bahan bakar gas elpiji, selalu ada pola yang berulang: mula-mula barang itu langka, kemudian muncul dengan harga yang sudah dinaikkan. Pola itulah yang terjadi sejak awal Februari lalu. Dan begitu sang elpiji mulai kelihatan di pasaran, Pertamina, BUMN pemerintah sebagai produsen terbesar elpiji, menaikkan harga Rp 150 per kilogram, sehingga harga sekarang adalah Rp 3.000 per kilogram atau Rp 35 ribu-Rp 38 ribu per tabung.
Masyarakat sebenarnya perlu kejelasan tentang penyebab kelangkaan ini. Sayangnya, kejelasan itu mahal benar harganya. Yang tersedia hanya informasi sepotong-sepotong. Mula-mula terdengar penyebab kelangkaan adalah rusaknya kilang Pertamina di Balongan, Jawa Barat. Tapi kemudian ada berita bahwa Pertamina terlambat mengimpor elpiji dari pasaran internasional tatkala Balongan rusak. Akibatnya, begitu pasokan Balongan sejumlah 1.300 metrik ton sehari berkurang atau hilang, kelangkaan elpiji segera terasa terutama di Jakarta dan Jawa Barat.
Adapun penjelasan tentang harga elpiji yang naik: harga di pasaran internasional yang dibeli Pertamina sudah begitu tinggi, sehingga kenaikan harga jual di dalam negeri tak terelakkan. Kenaikan itu menurut Pertamina hanya mengurangi subsidi yang diberikan Pertaminan kepada konsumen di dalam negeri. Setelah harga elpiji naik, Pertamina masih mengucurkan subsidi Rp 300 miliar setahun untuk konsumen di dalam negeri.
Sesungguhnya ini problem klasik dari bahan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak yang masih disubsidi pemerintah?seperti halnya dulu bahan bakar minyak. Pemerintah membeli BBM dari pasaran internasional dengan harga pasar internasional, tapi menjualnya dengan harga lebih murah yang terjangkau konsumen dalam negeri. Untuk itu pemerintah (dalam hal ini Pertamina) memberikan subsidi kepada rakyat, yang dibebankan pemerintah pada anggaran belanja negara. Pelan-pelan subsidi itu dikurangi dengan jalan menaikkan harga BBM mengikuti harga internasional. Tentu kalangan bermobil yang terkena kenaikan harga BBM itu dan bukan rakyat kebanyakan yang berdesakan di bus-bus kota. Subsidi tetap diberikan, dengan jumlah yang jauh lebih kecil, untuk rakyat di tingkat bawah yang memakai minyak tanah untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan menetapkan harga BBM sesuai dengan tingkat harga internasional, sejalan dengan semangat pasar bebas, investor luar negeri akan tertarik untuk menanamkan modalnya dalam bisnis pasokan BBM itu.
Pola yang sama seharusnya bisa diterapkan untuk kasus elpiji ini. Pertamina perlu terbuka tentang berapa sebenarnya biaya pokok, margin tata niaga, dan biaya lain, dari kilang sampai rumah konsumen. Majalah ini punya data bahwa biaya pokok kilang ditambah biaya pabrikasi dan pemasaran mencapai Rp 3.618 per kilogram. Sedangkan harga konsumen setelah kenaikan adalah Rp 3.000 per kilogram. Dengan kata lain, pemerintah masih memberikan subsidi sekitar Rp 600 per kilogram. Ada catatan: margin tata niaga untuk rekanan Pertamina Rp 170 per kilogram dan untuk agen elpiji Rp 319 per kilogram. Margin yang cukup lumayan untuk bertahan di bisnis ini.
Kami menganjurkan agar Pertamina meningkatkan efisiensinya supaya angka subsidi elpiji itu berkurang. Jika Pertamina harus mengikuti harga pasar internasional, kami anjurkan agar subsidi tetap diberikan?dengan penyaluran yang tepat sasaran?kepada para pedagang dan pengusaha kecil yang menjadi konsumen elpiji. Namun, sebelum semua itu, sekali lagi: Pertamina perlu membeberkan biaya produksi elpiji ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini