Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah gejala baru sedang mewabah di gelanggang pendapat umum nasional. Siapa pun yang "dianiaya" oleh pihak yang kuat akan segera memanen simpati orang ramai.
Karena fenomena ini awalnya dipicu oleh hujatan "penguasa" musik dangdut terhadap penyanyi Inul Daratista—yang kemudian malah membuatnya sangat populer—rasanya cukup beralasan untuk menyebutnya sebagai "sindrom Inul".
Sindrom Inul itu belakangan menular pada Susilo Bambang Yudhoyono. Calon presiden Partai Demokrat ini justru meroket kemasyhurannya setelah dikecam kalangan Istana. Juga hinggap pada guru dan murid "SMP 56" di Jalan Melawai, Jakarta, yang kebanjiran dukungan setelah aparat kota, atas perintah Gubernur DKI, menggembok gerbang gedung sekolah dan membuat para pelajar terpaksa berkelas di pinggir jalan.
Kini, entah karena ingin memanfaatkan wabah itu atau karena kebetulan belaka, para pendukung Abu Bakar Ba'asyir sedang giat menyebarluaskan informasi bahwa pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin itu akan "diculik" oleh agen-agen Amerika Serikat. Menurut mereka, info ini didapat dari polisi yang dilindungi jatidirinya. Tudingan ini langsung ditolak oleh pihak Kedutaan Amerika Serikat, tapi bantahan resmi itu jelas tidak memadai.
Masalahnya bukan karena ketidaksukaan Washington atas keputusan Mahkamah Agung yang meringankan hukuman Ba'asyir telah dinyatakan secara terbuka, tetapi catatan perilaku negara superpower ini di masa lalu membuat tuduhan yang dilancarkan pengikut pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia ini mudah mendapatkan sandaran. Tak kurang dari Richard A. Clarke, koordinator kegiatan antiteroris di Gedung Putih pada periode 1998-2003, menulis dalam buku Against All Enemies bahwa dinas rahasia AS telah beberapa kali melakukan operasi pencidukan (snatch operation) di luar negeri terhadap mereka yang dianggap sebagai gembong teroris.
Upaya seperti ini mungkin dapat dipahami bila dilakukan di negeri yang bermusuhan dengan Washington. Namun Indonesia, negara yang sedang dalam perjalanan untuk menjadi komunitas Islam terbesar dunia yang demokratis, tentu bukan lawan masyarakat Amerika Serikat. Karena itu, bila ingin sindrom Inul tak mampir di ruang tahanan Ba'asyir, pemerintah AS sepatutnya segera mengeluarkan pernyataan resmi yang menjamin bahwa snatch operation tak akan pernah dilakukan di republik ini.
Yang justru sepatutnya dilakukan adalah bantuan teknis terhadap aparat hukum Indonesia dalam mengungkap dan menyidik jaringan teroris di Nusantara secara profesional. Apalagi pintu untuk menguak bukti ini mulai terbuka oleh kesaksian Muhammad Nasir Abas dan Ahmad Roichan dalam perkara Abu Rusydan—tersangka yang dituduh menyembunyikan informasi mengenai keberadaan pelaku bom Bali, Muchlas alias Ali Gufron—dan telah diganjar hukuman tiga setengah tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhir Februari lalu.
Terorisme pada prinsipnya adalah musuh peradaban. Itu sebabnya, memberantas kegiatan jahanam ini adalah dengan membangun masyarakat yang beradab, dan bukan dengan menjiplak perilaku para teroris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo