Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sepotong Puisi dari Melawai

Setelah sempat disegel, gedung SLTP 56 akhirnya dibuka paksa. Siswa tetap belajar di tengah kemelut ruilslag.

26 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aku ingat pesan Ibu (Presiden) bahwa tidak akan ada lagi anak putus sekolah di negeri ini, tapi kenapa sekolah kami harus di-ruilslag?
...Tapi kami tetap belajar dan belajar, kami tahu kebenaran ada di pihak kami.

MIRIP sebuah puisi, kalimat itu merupakan penggalan surat Revi Udmajastra, 13 tahun, yang hendak dikirim ke Presiden Megawati Soekarnoputri. Ditulis pada kertas yang sudah lusuh, dengan malu-malu siswi kelas satu Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 56, Jakarta, itu memperlihatkan konsep surat tersebut kepada TEMPO, Rabu pekan lalu. Di sana-sini terdapat coretan hasil koreksi dari guru bahasa Indonesia-nya. "Saya ingin Ibu Presiden mendengar jeritan kami," ujar Revi lirih.

Surat itu mengisahkan nasib sekitar 65 siswa, termasuk Revi, dan sejumlah guru yang memilih bertahan di gedung SLTP 56, Jalan Melawai, Jakarta Selatan. Mereka tidak mau pindah, kendati tanah dan gedung ini sudah ditukar-guling (ruilslag) sejak 2000 lalu. Penggantinya, sebuah gedung sekolah yang berada di Jalan Jeruk Purut, Pasar Minggu, dan sebuah gedung lagi di kawasan Bintaro. Selain dengan alasan tempatnya jauh, mereka tidak habis pikir mengapa sekolahnya mesti di-ruilslag.

Kegelisahan Revi dan kawan-kawannya memuncak saat sekolahnya disegel oleh petugas Ketenteraman dan Ketertiban, Senin pekan lalu. Siswa dan guru sekolah tersebut dilarang memasuki gedung. Terpaksa mereka belajar secara nomaden selama beberapa hari, kadang di taman, sering pula di bawah tenda, sambil mengisap debu di kawasan Blok M yang padat.

Dibimbing oleh Nurlaila, seorang guru tetap yang masih bertahan, akhirnya mereka mengadukan nasibnya ke wakil rakyat di gedung DPR, Senayan. Di sana mereka bertemu dengan Fraksi PDI Perjuangan. Ujungnya, gembok yang mengunci pagar gedung itu dibongkar paksa pada Kamis pekan lalu. Pembongkaran ini disaksikan sejumlah anggota Fraksi PDI Perjuangan dan anggota Komnas HAM. Ibu Guru Nurlaila dan sejumlah guru honorer pun terharu, diiringi isak tangis para siswa yang sudah tak sabar ingin bersekolah lagi di gedung itu.

Persoalan selesai? Belum. Lewat kuasa hukumnya, Lambok Gultom, sebenarnya mereka telah menggugat PT Tata Disantara (Alatief Corporation) dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan karena ruilslag itu tidak wajar. Tanah SLTP 56 seluas 4.500 meter persegi hanya dihargai Rp 24 miliar (sekitar Rp 7 juta per meter persegi) oleh PT Tata. Padahal, menurut Gultom, tanah itu bisa bernilai Rp 44 miliar (sekitar Rp 9 juta per meter persegi). Selain itu, proses ruilslag juga tidak melewati tender.

Hanya, gugatan itu dikandaskan oleh Pengadilan Jakarta Selatan Januari lalu. Nurlaila dan para siswa dinyatakan tidak berhak mewakili SLTP 56, dan karena itu gugatan tersebut ditolak. Berdalih adanya vonis inilah pihak aparat Tramtib lalu menyegel gedung sekolah tersebut. Padahal, Nurlaila dan kawan-kawan masih mengajukan banding. Lagi pula dalam putusan pengadilan sama sekali tidak disebutkan adanya penyegelan. "Putusan hanya menyebut gugatan kami tidak diterima," kata Gultom. Kalaupun ada penyegelan, ia menambahkan, yang paling berhak melakukannya adalah petugas juru sita pengadilan.

Selama ini pemerintah menganggap aktivitas belajar-mengajar yang dilakukan di SLTP 56 Melawai ilegal. Alasannya karena proses ruilslag sudah terjadi. Selain itu, sebagian besar guru telah mengajar di SLTP 56 di Jeruk Purut, yang kini memiliki sekitar 800 siswa. Bahkan Gubernur DKI Sutiyoso mengancam akan mempidanakan Nurlaila dan kawan-kawan karena dianggap memperalat siswa. Mendapat ancaman demikian, Bu Guru tidak gentar. "Saya siap dipenjara," tutur Nurlaila.

Tanpa dipenjara pun, nasib Nurlaila sudah pahit. Dia telah ditekan oleh kepala sekolah maupun pejabat Dinas Pendidikan. Puncaknya, sejak Desember tahun lalu ia sudah tidak digaji lagi.

Tak cuma itu. Pihak Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah DKI Jakarta juga tidak sudi memberikan rapor kepada para siswa yang diasuh Nurlaila. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah, Gito Purnomo, pihaknya baru akan memberikan rapor jika murid SLTPN 56 Melawai itu bersedia pindah ke SLTPN 12, yang juga berada di kawasan Blok M. "Kita tidak mengerti mengapa mereka tidak mau," ujarnya.

Menghadapi tekanan tersebut, para guru dan siswa yang bertahan di SLTP 56 tidak putus asa. Komite sekolah tersebut menyiasatinya dengan mencetak buku rapor sendiri agar bisa dibagikan kepada para siswa. "Untuk sementara, saya yang menandatangani rapor tersebut," ujar Nurlaila.

Menurut Nurlaila, sebenarnya pihak Dinas Pendidikan tidak memiliki alasan untuk tak memberikan rapor karena standar pengajaran di sekolahnya cukup baik. Guru-gurunya pun memiliki akreditasi mengajar, meski status mereka hanya honorer. Seluruh dana operasional diperoleh dari uang bantuan orang tua murid sebesar Rp 50 ribu tiap siswa. Dana itu digunakan untuk membayar 14 guru honorer dan kegiatan siswa lainnya, termasuk membayar telepon, listrik, dan air.

Dengan dana yang pas-pasan itu, Nurlaila dan siswanya kini terus bertahan. Mereka tetap yakin ruilslag tersebut tidak benar dan penuh keanehan. Kenapa sekolah mesti tersingkir oleh mesin ekonomi? Ini pula yang diyakini oleh Revi, yang hendak mengirim surat buat Presiden Megawati. Harapannya cuma satu, ia ingin persoalan yang membelit sekolahnya cepat selesai. "Kami hanya ingin bisa belajar dengan tenang lagi," ujarnya.

Juli Hantoro, Candra Dewi (Koran Tempo)


Ruilslag yang Menuai Gugatan

GEDUNG SLTP 56, yang terletak di Lintas Melawai, Blok M, Jakarta Selatan, sudah lama menjadi incaran investor. Bahkan pada 1988, di era Orde Baru, telah ada sebuah perusahaan konstruksi yang tertarik menukar tanah dan gedung sekolah tersebut. Namun, ruilslag baru benar-benar terjadi pada 1997 dan disetujui oleh Menteri Pendidikan Nasional pada 2000. Berikut kronologinya:

13 Januari 1997
Ditandatangani perjanjian ruilslag antara PT Tata Disantara dan Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta. Kompensasinya, tanah seluas 7.658 meter persegi dan bangunan 4.742 meter persegi di Jalan Jeruk Purut di Pasar Minggu, serta tanah seluas 4.000 meter persegi dan bangunan 2.692 meter persegi di kawasan Bintaro.

28 Oktober 1998
Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono menyetujui rencana tukar guling yang akan dilakukan PT Tata Disantara.

11 September 1998
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Indra Djati Sidi, menyetujui ruilslag tanah dan bangunan SLTP 56 dengan PT Tata Disantara.

22 Desember 2000
Menteri Pendidikan Yahya Muhaimin menetapkan harga aset dalam proses ruilslag.

24 Mei 2000
Menteri Keuangan Bambang Sudibyo menyetujui ruilslag tersebut.

April 2003
Orang tua murid dan guru yang menolak ruilslag mengajukan gugatan terhadap Departemen Pendidikan Nasional dan PT Tata Disantara ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Juni 2003
Tukar guling berjalan, dan sebagian besar murid dan guru SLTP 56 sudah pindah ke sekolah yang baru di Jeruk Purut, sebagian lagi bertahan di Melawai.

Desember 2003
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengandaskan gugatan para orang tua murid dan guru. Hakim Tusani Jafri, yang memimpin sidang, menyatakan gugatan tidak sempurna, kabur, dan kualitas para penggugat terbukti tidak dapat mewakili kepentingan para penggugat seluruhnya. Penggugat lalu mengajukan banding.

18 April 2004
Dinas Ketenteraman dan Ketertiban DKI, atas perintah Gubernur DKI Sutiyoso, mengosongkan gedung SLTP 56, yang selama ini dijaga oleh sukarelawan. Para petugas melakukan "serangan fajar" dan menggembok sekolah tersebut.

22 April 2004
Gembok dibuka paksa oleh anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan.

Sumber: Government Watch, Tempo News Room

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus