Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Djoko Sungkono, Direktur Operasi dan Pelayanan PT Jamsostek, dicopot pada awal bulan ini. Pertanyaan yang segera muncul: adakah ini bagian dari "pembersihan" di tubuh badan usaha milik negara itu, atau malah "pembersihan" orang yang mencoba-coba membereskan Jamsostek. Jawabannya tentu terpulang kepada Menteri Negara BUMN, pihak yang paling berwenang atas perusahaan asuransi yang mengelola dana pensiun 23 juta pekerja itu?di antaranya 11 juta peserta aktif.
Cerita Jamsostek memang bukan cerita keberhasilan seperti halnya Central Provident Fund (CPF) milik pemerintah Singapura. Di negeri tetangga itu, 20 persen dari penghasilan pekerja diwajibkan oleh pemerintah untuk ditabung demi jaminan hari tua. Perusahaan di Singapura juga diwajibkan memberikan asuransi dan dana pensiun untuk pekerjanya lewat CPF. Dengan dana besar itulah, antara lain, Singapura berkembang dan mampu membangun ekonominya.
Jamsostek, dulu bernama PT Astek, belum menjadi andalan penggerak dana pembangunan. Bahkan untuk tampil sebagai pengelola dana pekerja yang andal pun perusahaan ini masih diragukan. Di masa lalu Jamsostek malah terseret dalam urusan yang justru merugikan pekerja. Pada 1997, Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief mengalirkan dana Rp 7,1 miliar untuk penyusunan Undang-Undang Tenaga Kerja?yang isinya banyak ditentang pekerja. Di luar itu, sejumlah investasi Jamsostek ternyata merugikan. Sampai-sampai DPR pernah "menggugat" BUMN ini dalam kasus pembelian saham Bumi Resources, akuisisi PT Arutmin, pembelian obligasi PT Indah Kiat, dan lainnya. Walaupun tidak terjadi dalam satu kurun waktu, total investasi yang dipertanyakan itu berjumlah lebih kurang Rp 1,3 triliun.
Besaran angka ini saja sudah menunjukkan betapa penggunaan uang tabungan pekerja itu masih jauh dari memadai. Tidak hanya itu. BUMN tersebut ternyata tidak bebas dari penyakit korupsi. Hal ini terungkap dari hasil audit semester kedua Badan Pemeriksa Keuangan atas Jamsostek. Walaupun pada 2002 itu Jamsostek diberi nilai audit wajar tanpa pengecualian, BPK juga menemukan 53 kasus dugaan korupsi.
Dugaan korupsi itu ada kaitannya dengan investasi Jamsostek di medium term notes (MTN). Sejak tiga tahun yang lalu pembelian MTN oleh Jamsostek ini dipermasalahkan, mengingat instrumen investasi ini termasuk bidang yang "abu-abu" dalam aturan investasi dana Jamsostek menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1996. Dilarang tidak, tapi diperbolehkan juga tidak disebutkan jelas dalam peraturan itu. Namun, dengan alasan suku bunga deposito merosot, dan karenanya pendapatan investasi menurun, direksi Jamsostek mengalihkan beberapa investasinya ke MTN.
Soalnya bukan keberanian membuat "terobosan" itu. Tapi pembelian MTN itu kadang tidak didukung prosedur yang memadai. Jaminan atas surat utang itu lemah. Bahkan ada sebuah perjanjian yang diragukan keabsahannya secara hukum, karena dilakukan hanya dengan kertas polos. Tidaklah mengherankan jika di neraca Jamsostek, sampai akhir tahun 2003, dicadangkan dana untuk menutup kerugian akibat investasi di MTN sampai hampir Rp 80 miliar. Itu menandakan koleksi dana yang didapat dari perusahaan yang mengeluarkan MTN itu tersendat-sendat?dan mendatangkan potensi rugi bagi Jamsostek.
Agaknya sudah waktunya bagi Jamsostek, yang kini mengelola dana Rp 26 triliun, berbenah. Perusahaan itu hendaknya segera menjadi tempat buruh mendapatkan jaminan hari tua yang layak. Dan bukan menjadi sasaran kekesalan buruh dan pekerja?yang gajinya dipotong setiap bulan sepanjang usia kerja?di masa pensiun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo