Kemelut yang terjadi di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 56 Melawai, Jakarta Selatan, begitu kompleks dan penuh warna-warni. Ini ibarat mozaik Indonesia dari sisi buruknya, dan masalah pun diselesaikan dengan cara-cara yang tak kurang buruknya. Di sini juga terpotret wajah birokrasi kita yang lamban, termasuk penyelesaian secara hukum. Belakangan diwarnai nuansa politis. Yang tak terelakkan adalah siswa-siswa pun jadi korban.
Urutan permasalahannya sebetulnya mudah diurai. Gedung sekolah ini dinilai tidak layak lagi dipertahankan sebagai tempat belajar-mengajar karena terlalu dekat dengan pusat belanja. Tentang ini tentu sudah ada perdebatan yang matang, sehingga keputusan yang diambil adalah tukar guling dengan lahan lain. Banyak pengusaha yang berminat. Setelah melalui proses berliku, akhirnya yang berhasil menang dalam tukar guling itu adalah PT Tata Disantara, milik mantan Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief.
Tukar guling tahun 2001 itu menyepakati bahwa pengganti SLTPN 56 Melawai adalah gedung bekas SMU Al-Azhar di Jalan Jeruk Purut. PT Tata Disantara juga memberikan lahan kosong di Bintaro, yang kemudian dibangun gedung SMU yang baru. Setelah kesepakatan itu terjadi, SLTPN 56 resmi pindah ke Jeruk Purut. Namun, kelas III dibiarkan tetap di Melawai sambil menunggu ujian akhir.
Dari sekian banyak manusia yang terlibat dalam kesepakatan ini— pihak Pemda DKI, Departemen Pendidikan Nasional, kalangan pengusaha, guru, dan siswa—ada seorang guru yang tidak sepakat. Dia adalah Nurlaila. Bu Guru ini melihat sesuatu yang tak beres, yakni dugaan korupsi. Gedung sekolah itu dinilai harganya cuma Rp 5 juta per meter persegi, padahal nilai jual obyek pajaknya Rp 9,5 juta.
Nurlaila protes, sebuah tindakan yang sangat bagus. Bahkan jalur hukum pun ditempuh dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ini pun langkah berani dan patut dipuji. Sayang, PN Jakarta Selatan tidak bisa menerima gugatan, lalu penggugat naik banding.
Pengadilan banding, seperti biasa, berlarut-larut. Yang terjadi kemudian adalah Nurlaila dan teman-temannya meneruskan program pendidikan dengan menerima murid baru pada tempat yang sama, yang semestinya sekolah itu sudah sah pindah ke Jeruk Purut. Sebagai tenaga pengajarnya dicarilah guru-guru honorer.
Kini, persoalan yang sebenarnya mudah diurai justru menjadi kusut. Ada siswa yang tidak punya nomor induk sekolah karena memang secara formal SLTPN 56 ada di Jeruk Purut. Lalu Pemda DKI, yang menutup gedung sekolah dengan paksa, untuk melindungi pengusaha yang sudah menyerahkan lahan pengganti. Kemudian ada aktivis LSM yang prihatin karena kenyataan ada siswa yang belajar di emperan pinggir jalan. Politisi dan ormas partai pun turun tangan. Permasalahan jadi campur aduk, semuanya berdalih "demi menyelamatkan anak didik".
Semestinya, gugatan korupsi tukar guling itu tetap bisa dilakukan dengan gencar, sementara anak-anak belajar dengan tenang di sekolah yang sah. Diperlukan dialog yang lebih tenang untuk menyelesaikan kasus ini tanpa melibatkan anak didik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini