MELALUI Sidang Pleno Ke-7 ISEI di Banjarmasin minggu lalu, mantan Menko Ekuin Ali Wardhana mengirim pesan yang mendapat perhatian pers dan masyarakat bisnis. Jika Indonesia mau tumbuh dengan 5-6% per tahun selama PJPT (Pembangunan Jangka Panjang Tahap) II dan karena itu naik kelas ke kelompok pendapatan menengah, investasi yang perlu sangat besar. Untuk menghindari destabilisasi yang berasal dari pembengkakan defisit transaksi berjalan, tabungan nasional harus diperkuat, biarpun tabungan luar negeri masih tetap dibutuhkan. Diskusi tentang ini patut dimulai. Banyak indikasi, Indonesia masih boros modal. Kalau untuk setiap 1% pertumbuhan diperlukan investasi sebesar 5% dari PDB, daya saing internasional tetap di bawah Taiwan dan Korea Selatan yang lebih hemat modal. Dalam PJPT I ini investasi di Indonesia sebagai pecahan PDB secara konsisten memang di atas investasi di "naga-naga kecil Asia itu", tetapi pertumbuhannya justru lebih rendah. Apa teka-tekinya? Di antara pembisnis Indonesia, pengelola BUMN, ada yang senang menambah investasi melebihi yang perlu alias mubazir. Tata buku investasi kita juga tampaknya mencatat lebih karena unsur pelicin atau semacamnya yang tidak produktif. Kalau ekuitas kecil, sementara ambisi pertumbuhan tinggi, kompensasinya dapat dilakukan melalui pembesaran nilai proyek. Praktek-praktek seperti ini merupakan respon yang rasional terhadap sistem yang irrasional. Implikasinya sangat jauh seperti biaya tinggi yang berarti daya saing lemah. Negara yang ingin tumbuh cepat membutuhkan tabungan kuat. Tetapi penguatan hasrat menabung adalah pekerjaan jangka panjang. Taiwan pun pada mula pembangunannya tidak segemar seperti sekarang dalam menabung. Kalau sekarang Indonesia menabung Rp 22 dari setiap Rp 100 PDB, yang bertambah besar adalah jumlah tabungan, sementara hasrat menabung masih lemah seperti dahulu. Itu tidak berarti bahwa penyesuaian makro dan deregulasi keuangan adalah sia-sia. Yang dialami Indonesia tidak istimewa. Deregulasi dalam sektor keuangan, yang lama menderita regulasi tinggi, memang sering membakar konsumsi dulu dari pada mendorong tabungan. Sesudah 1986, misalnya, kredit perbankan total di Indonesia naik lebih cepat dari pada kredit investasi. Deposito perbankan juga tumbuh cepat, tetapi kalah cepat dibandingkan dengan kredit, disamping memendek menurut jangka waktunya. Dengan harga tanah yang melambung-lambung, hasrat mengambil kredit perumahanlah yang sangat menguat. Statistik PDB juga menunjukkan bahwa paling tidak boom 1989 dan 1990 adalah helaan ekspansi konsumsi. Baru sesudah beberapa lama, sistem keuangan yang kompetitif menghasilkan insentif langgeng bagi kenaikan tabungan. Kenaikan penerimaan pajak menjadi krusial bagi PJPT II. Tetapi harus dibuat catatan. Pertama, dalam ekonomi Indonesia ada "pajak kuasi" seperti pelicin. Dengan "pajakkuasi" ini, jangan-jangan rasio upaya pajak Indonesia sudah mendekati rasio negara-negara tetangga yang dikutip Ali Wardhana. Kedua, perbaikan tabungan pemerintah memerlukan juga rasionalisasi pengeluaran. Jika yang dipakai adalah analisis cost benefit seperti dianjurkan, mungkin bagian yang besar dari pengeluaran negara perlu dicoret. Sayangnya, pemerintah di mana-mana tidak suka merampingkan diri, apalagi kalau peluang masih terbuka bagi penaikan penerimaan dan utang. Faktor ini pun harus dipertimbangkan dalam perbaikan tabungan pemerintah dalam PJPT II. Bukan hanya penaikan penerimaan yang diperlukan, tetapi juga minimasi pungutan-pungutan yang menyimpang dan rasionalisasi pengeluaran, misalnya melalui pengurangan departemen dan lembaga yang setaraf. Kalau ini dianggap mustahil, penaikan tabungan pemerintah pun akan lebih sulit. Sekitar dua pertiga dari tabungan Indonesia adalah tabungan swasta, perorangan, dan korporat. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi tabungan perorangan. Di samping pendapatan perkapita sendiri, sistem pemajakan, hasil riil tabungan dalam jangka yang cukup panjang, sistem pendanaan asuransi sosial, tingkat monetisasi, kebiasaan pembayaran, pertumbuhan penduduk dan jumlah anggota keluarga, bahkan juga nilai kultural seperti kuat-tidaknya keinginan melengkapi keturunan dengan hibah harta (dari segi ini pajak warisan adalah konteproduktif), turut menentukan hasrat menabung. Jika yang dikejar adalah maksimasi tabungan, dalam banyak faktor ini masih diperlukan perubahan. Di pihak lain, tabungan perusahaan yang tersedia bagi reinvestasi sangat peka terhadap lingkungan kebijaksnaan, baik makro maupun mikro. Keterbukaan pasar modal dunia dan kecepatan telekomunikasi memungkinkan perpindahan laba perusahaan yang cepat dari tempat yang kurang ramah ke yang lebih ramah investasi. Dulu Indonesia sudah menggunakan banyak dana luar negeri untuk menutup kesenjangan tabungan investasi. Mula-mula yang dominan sebagai peminjam adalah pemerintah, tetapi dalam tahun-tahun terakhir pinjaman swasta pun melonjak. Kini bunga dan cicilannya sudah menjadi beban. Peluang menggunakan dana luar negeri masih ada. Tetapi komposisinya perlu digeser dengan dana ekuitas lebih diutamakan, termasuk dana ekuitas tidak langsung yang dapat naik kalau perusahaan Indonesia menghayati budaya terbuka. Pinjaman luar negeri juga tetap diperlukan, termasuk pinjaman swasta. Yang terakhir ini bahkan sangat menarik dari segi perbedaan biaya bunga walaupun bunga pinjaman luar negeri swasta sudah jauh di atas LIBOR. Pertanyaannya sekarang adalah pengendalian pinjaman itu. Ada dilemma karena pengendalian pinjaman luar negeri swasta dapat ditafsir sebagai pelepasan sistem devisa bebas. Sebagai mana sering terjadi, kontrol mudah menjalar melewati batas-batas kewajaran. Yang diperlukan dalam tahun-tahun mendatang kiranya bukan pengendalian umum (across the board), melainkan pemantauan dan pencegahan terjadinya kasus-kasus yang janggal. Tetapi ini pun jauh lebih mudah disebut dari pada diimplementasi. Pengertian kunci dalam PJPT II adalah perbaikan efisiensi penggunaan modal, perbaikan tabungan nasional, yang akan berarti pengenduran tekanan defisit transaksi berjalan. Masih banyak yang dapat dilakukan untuk perbaikan ini, tanpa disosiasi dari asas-asas pokok yang mendasari kebijaksanaan ekonomi dalam PJPT I, terutama dalam 10 tahun terakhir. Yang harus dikerjakan segera adalah "menyerang benteng-benteng"yang anti deregulasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini