DUA puluh tahun yang lalu, ketika di Lembah Wamena diperkenalkan "Operasi Koteka", masih banyak penduduk yang enggan menggunakan pakaian, walau itu diperoleh dengan gratis. Sampai-sampai saat itu "Operasi Koteka" dianggap gagal. Kini, keadaan telah berubah. Kemajuan sudah tersentuh di pedalaman Irian Jaya ini. Koteka bahkan diperdagangkan sebagai barang cendera mata untuk para turis, bersanding dengan batu-batuan dan senjata asli mereka. Sebuah koteka harganya sekitar Rp 3.000. Batu kapak harganya Rp 25.000 sampai Rp 50.000. Ibu kota Kabupaten Jayawijaya di ketinggian 1.550 meter ini tak terasing dari dunia luar. Dari lembah ini orang bisa menikmati siaran televisi mancanegara, bahkan melakukan percakapan internasional dengan kartu telepon paling canggih. Putra putri Irian Jaya berbaris tegap menatap hari depan yang cerah, seperti rekan-rekannya di provinsi yang lain. Jika di Aikima, 20 menit perjalanan mobil dari Wamena, masih banyak di jumpai penduduk yang mengenakan koteka, itulah "para pengawal" Mumi Aikima begitu penduduk menyebut mumi bekas kepala suku yang konon berusia 300 tahun ini. Mereka yang berkoteka itu bukanlah penduduk yang bodoh atau "tertinggal oleh kemajuan". Mereka justru berpikir maju dan mengikuti kemajuan, terbukti misalnya uang mereka disimpan di bank. "Dibandingkan dengan pendatang dari luar, penduduk di sini jauh lebih tinggi minat menabungnya," ujar seorang kepala cabang bank. Tapi kenapa mereka tetap berkoteka? "Kalau saya memakai celana dan baju, turis tak mau lagi memotret, kan rugi?" kata seseorang dari mereka. Betul. Karena mereka memang hidup dari hasil jepretan para turis asing maupun domestik. Untuk menonton Mumi ini, setiap orang membayar Rp 2.500. Untuk memotret Mumi dan "para pengawal"-nya, juga harus keluar uang yang besarnya tergantung jenis kameranya: kamera biasa, video atau film. Lembah Wamena bukan lagi "lapangan perang" tempat para suku berhadap-hadapan, saling membunuh. Lembah ini, menurut seorang turis, akan menjadi tempat wisata yang penting -- dan mahal di kawasan Asia Pasifik pada abad ke-21. Teks dan foto-foto oleh Seiichi Okawa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini