Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebelum penembakan, ketiga prajurit ditengarai terlibat dalam penguasaan mobil Ilyas Abdurrahman secara ilegal.
Selain menembak Ilyas, AA pun menadah mobil yang digelapkan penyewanya.
Pemerintah dan DPR mengabaikan satu langkah penting menuntaskan reformasi TNI.
JIKA reformasi Tentara Nasional Indonesia tuntas, tiga prajurit TNI Angkatan Laut yang menjadi tersangka penembakan pemilik rental mobil, Ilyas Abdurrahman, semestinya dibawa ke peradilan umum. Namun, karena pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tak punya niat memperbaiki TNI secara menyeluruh, perubahan Undang-Undang tentang Peradilan Militer tak pernah terjadi. Akibatnya, anggota militer yang melakukan tindak pidana umum tetap diadili di peradilan militer yang tertutup dan tidak transparan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam penembakan terhadap Ilyas di area istirahat kilometer 45 jalan tol Tangerang-Merak pada 2 Januari 2025, ketiga prajurit itu jelas tak sedang bertugas sebagai anggota militer. Sebelum penembakan, mereka ditengarai terlibat dalam penguasaan mobil milik Ilyas secara ilegal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya, mobil Ilyas disewa oleh pelaku lain dengan menggunakan identitas palsu. Mobil Honda Brio itu lalu berpindah tangan beberapa kali dan akhirnya dijual kepada Sersan Satu AA, penembak Ilyas. Dengan kata lain, selain menembak Ilyas, AA menadah mobil yang digelapkan.
Karena itu, sebenarnya tak ada alasan mengadili mereka di peradilan militer. Pasal 65 Undang-Undang TNI menyatakan tentara tunduk pada kekuasaan peradilan mana pun, bergantung pada pelanggaran hukumnya: peradilan militer dalam pelanggaran pidana militer dan, sebaliknya, peradilan umum jika pidana umum. Masalahnya, pasal tersebut baru bisa diterapkan apabila ada ketentuan baru dalam Undang-Undang Peradilan Militer.
Meskipun Undang-Undang TNI sudah membuka jalan sejak 2004, Undang-Undang Peradilan Militer tak pernah diubah. Pemerintah dan DPR mengabaikan satu langkah penting untuk menuntaskan reformasi TNI. Lembaga eksekutif dan legislatif malah berniat merevisi Undang-Undang TNI, antara lain, untuk memperpanjang usia pensiun anggota militer dan meluaskan jabatan sipil yang bisa diisi tentara aktif. Amendemen Undang-Undang TNI untuk tujuan tersebut malah bakal mengembalikan “dwifungsi TNI” seperti era Orde Baru.
Perbedaan perlakuan bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana umum sesungguhnya melanggar konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum tanpa kecuali. Dengan demikian, warga sipil, polisi, ataupun tentara yang melakukan kejahatan umum semestinya diadili di pengadilan yang sama. Pengecualian bagi anggota militer justru akan menimbulkan impunitas.
Dalam catatan Imparsial, lembaga pemantau hak asasi manusia, setidaknya ada delapan insiden penembakan oleh anggota TNI terhadap warga sipil pada tahun lalu. Tapi, karena kasus itu disidangkan di peradilan militer, publik tidak mengetahui ujung pengusutannya. Peradilan militer yang tertutup seolah-olah menjadi bunker untuk melindungi personel dan tak ampuh membuat jera.
Anggapan tersebut diperkuat oleh pernyataan pemimpin militer yang terkesan membela anak buah yang melakukan kejahatan. Dalam penembakan terhadap Ilyas, Panglima Komando Armada RI Laksamana Madya Denih Hendrata justru mengatakan tiga prajurit Angkatan Laut sedang membela diri dari pengeroyokan oleh belasan orang. Faktanya, tak ada pengeroyokan. Sertu AA bukan sedang membela diri, melainkan tengah berusaha meloloskan diri.
Akibat sistem peradilan militer yang tak kunjung dibenahi dan sikap pemimpinnya yang defensif, impunitas anggota militer pun kian langgeng. ●