WONGSOWIKROMO hidup di Desa Kaliurip, di Kutoarjo, Jawa Tengah.
Desa kecil ini merupakan desa pegunungan. Kualitas tanahnya
sedang saja. Wongsowikromo punya sedikit tanah waris, berupa
sawah, kebun, tegalan, dan sebuah pekarangan.
Ia berumah dengan istri, ibu mertuanya dan ketiga anaknya yang
masih kecil. Dalam penelitian yang dilakukan di tahun 1888 ini,
Wongso harus membayar pajak f 0.88 untuk tanahnya, dan f 1 untuk
pajak dirinya. Ia juga dalam tiap tahun harus bekerja 78 kali
buat menanam kopi untuk gubernemen -- tiap kali 5 jam. Selain
itu, dia harus bekerja bagi gotong-royong desa 72 kali setahun,
tiap kali 11 jam.
Sengsarakah hidup Wongso? Tidak, meskipun pas-pasan. Tiap hari
masih ada uang di tangannya. Tapi dalam studi terhadap anggaran
rumah tangga rakyat pedesaan Jawa yang dikumpulkan oleh J.H.
Boeke dalam Inlandse Budgetten (Koloniale Studient, 1926) ini,
ternyata selama 265 hari dalam masa setahun tak terjadi
transaksi keuangan apapun dalam hidup Wonsowikromo.
Hal yang sama terjadi pada Sodrono, petani dari desa
Kalimenangwetan, yang distudi di tahun 1886. Tulis Boeke,
menyimpulkan "Sodrono adalah seorang yang berhati-hati dan tak
sembarangan dengan uangnya. Ia tak menderita oleh kemalangan
yang tak terduga-duga, dan mampu hidup selama setahun itu tanpa
harus mengutang. Tapi, dalam kasus ini pula, uang masih dianggap
sebagai sesuatu yang ditindihkan dari luar. Uang memang
menyebabkan sedikit kecemasan padanya, tapi belum merupakan
bagian yang integral dari hidupnya sehari-hari."
Seorang sarjana Belanda lain, yang meneliti keadaan ekonomi awa
dan Madura di tahun 1904-1905. juga menulis "Tabungan yang
berupa uan (karena diperkenalkannya fasilitas kredit yang lebih
baik) nampak hanya naik perlahan-lahan, meskipun tak selamanya
dengan cara yang produktif. Di beberapa daerah, masih ada
kebiasaan menyimpan uang dalam kuali tanah atau kotak bambu.
Terkadang uang ditabung untuk suatu pesta tertentu atau untuk
tetirah . . . Pembentukan modal tetap sangat jarang terjadi di
kalangan penduduk bumiputra."
Uang nampaknya tetap merepotkan, sejak zaman Wongsowikromo
sampai dengan tatkala anak cucunya punya cadangan devisa tujuh
milyar dollar Amerika.
"Modernisasi" memang terjadi. Tapi di beberapa desa di Minahasa
-- dengan panen raya cengkih dan pendapatan per kapita yang
konon mencapai US$5000, tertinggi di Asia -- mobil berderet di
jalan. Pemiliknya datang ke kota hanya buat ke restoran, makan
pagi. Uang bertaburan di pacuan kuda. Oom llenk memesan
pakaiannya dari Los Angeles. Pak Jootje mendirikan rumah seperti
Boeing 747 ....
Di tahun 1905 si sarjana Belanda bilang, bahwa semua itu adalah
akibat "faktor-faktor kebudayaan". Tapi barangkali masalahnya
hanya bersintuhan saja dengan "kebudayaan", apabila yang
dimaksud adalah satu warna dari watak yang permanen. Masalahnya
mungkin terletak pada sesuatu yang belum berubah, tapi bisa
berubah -- dengan rasa pedih, atau harapan, atau kebingungan.
Perubahan itulah yang disebut proses "penguangan" dan
"komersialisasi" masyarakat. Richard Heilbroner menuliskannya
dengan baik dalam The Making of Economic Society ketika ia
menyinggung satu transformasi dalam sejarah Eropa. Sebagaimana
dimengerti di zaman kuno dan sepanjang Abad Tengah, milik adalah
sejumlah kekayaan yang "dapat diraba". Sangat logis bila milik
itu pun direalisasikan dalam bentuk rumah mewah dalam kastil
dan persenjataan, dalam jubah dan tanda-tanda kerajaan. Tapi
dengan penguangan dan komersialisasi masyarakat, "milik itu pun
menjadi modal".
Dengan kata lain, ia jadi satu pengertian yang abstrak, yang
nilainya terletak dalam kapasitasnya menghasilkan bunga atau
laba.
Pengertian yang abstrak inilah yang belum terbit di kepala
Sodrono di Kutoardjo, 1886 dan Oom Henk di Minahasa, 1980.
Pengertian itu tak indah, kering, tapi haruskah ia tak datang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini