Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pengertian abstrak

Milik adalah sejumlah kekayaan yang dapat diraba. direalisasikan dalam rumah, persenjataan & tanda-tanda kekuasaan. dengan penguangan & komersialisasi masyarakat milik pun menjadi modal. suatu pengertian abstrak.

10 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WONGSOWIKROMO hidup di Desa Kaliurip, di Kutoarjo, Jawa Tengah. Desa kecil ini merupakan desa pegunungan. Kualitas tanahnya sedang saja. Wongsowikromo punya sedikit tanah waris, berupa sawah, kebun, tegalan, dan sebuah pekarangan. Ia berumah dengan istri, ibu mertuanya dan ketiga anaknya yang masih kecil. Dalam penelitian yang dilakukan di tahun 1888 ini, Wongso harus membayar pajak f 0.88 untuk tanahnya, dan f 1 untuk pajak dirinya. Ia juga dalam tiap tahun harus bekerja 78 kali buat menanam kopi untuk gubernemen -- tiap kali 5 jam. Selain itu, dia harus bekerja bagi gotong-royong desa 72 kali setahun, tiap kali 11 jam. Sengsarakah hidup Wongso? Tidak, meskipun pas-pasan. Tiap hari masih ada uang di tangannya. Tapi dalam studi terhadap anggaran rumah tangga rakyat pedesaan Jawa yang dikumpulkan oleh J.H. Boeke dalam Inlandse Budgetten (Koloniale Studient, 1926) ini, ternyata selama 265 hari dalam masa setahun tak terjadi transaksi keuangan apapun dalam hidup Wonsowikromo. Hal yang sama terjadi pada Sodrono, petani dari desa Kalimenangwetan, yang distudi di tahun 1886. Tulis Boeke, menyimpulkan "Sodrono adalah seorang yang berhati-hati dan tak sembarangan dengan uangnya. Ia tak menderita oleh kemalangan yang tak terduga-duga, dan mampu hidup selama setahun itu tanpa harus mengutang. Tapi, dalam kasus ini pula, uang masih dianggap sebagai sesuatu yang ditindihkan dari luar. Uang memang menyebabkan sedikit kecemasan padanya, tapi belum merupakan bagian yang integral dari hidupnya sehari-hari." Seorang sarjana Belanda lain, yang meneliti keadaan ekonomi awa dan Madura di tahun 1904-1905. juga menulis "Tabungan yang berupa uan (karena diperkenalkannya fasilitas kredit yang lebih baik) nampak hanya naik perlahan-lahan, meskipun tak selamanya dengan cara yang produktif. Di beberapa daerah, masih ada kebiasaan menyimpan uang dalam kuali tanah atau kotak bambu. Terkadang uang ditabung untuk suatu pesta tertentu atau untuk tetirah . . . Pembentukan modal tetap sangat jarang terjadi di kalangan penduduk bumiputra." Uang nampaknya tetap merepotkan, sejak zaman Wongsowikromo sampai dengan tatkala anak cucunya punya cadangan devisa tujuh milyar dollar Amerika. "Modernisasi" memang terjadi. Tapi di beberapa desa di Minahasa -- dengan panen raya cengkih dan pendapatan per kapita yang konon mencapai US$5000, tertinggi di Asia -- mobil berderet di jalan. Pemiliknya datang ke kota hanya buat ke restoran, makan pagi. Uang bertaburan di pacuan kuda. Oom llenk memesan pakaiannya dari Los Angeles. Pak Jootje mendirikan rumah seperti Boeing 747 .... Di tahun 1905 si sarjana Belanda bilang, bahwa semua itu adalah akibat "faktor-faktor kebudayaan". Tapi barangkali masalahnya hanya bersintuhan saja dengan "kebudayaan", apabila yang dimaksud adalah satu warna dari watak yang permanen. Masalahnya mungkin terletak pada sesuatu yang belum berubah, tapi bisa berubah -- dengan rasa pedih, atau harapan, atau kebingungan. Perubahan itulah yang disebut proses "penguangan" dan "komersialisasi" masyarakat. Richard Heilbroner menuliskannya dengan baik dalam The Making of Economic Society ketika ia menyinggung satu transformasi dalam sejarah Eropa. Sebagaimana dimengerti di zaman kuno dan sepanjang Abad Tengah, milik adalah sejumlah kekayaan yang "dapat diraba". Sangat logis bila milik itu pun direalisasikan dalam bentuk rumah mewah dalam kastil dan persenjataan, dalam jubah dan tanda-tanda kerajaan. Tapi dengan penguangan dan komersialisasi masyarakat, "milik itu pun menjadi modal". Dengan kata lain, ia jadi satu pengertian yang abstrak, yang nilainya terletak dalam kapasitasnya menghasilkan bunga atau laba. Pengertian yang abstrak inilah yang belum terbit di kepala Sodrono di Kutoardjo, 1886 dan Oom Henk di Minahasa, 1980. Pengertian itu tak indah, kering, tapi haruskah ia tak datang?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus