BAU busuk yang menusuk sampai akhir pekan lalu masih tercium di
desa Sangiang dan Sunia, Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka,
Jawa Barat. Bau itu diduga berasal dari mayat manusia serta
bangkai binatang yang tertimbun lumpur akibat bencana banjir dan
longsor yang dua pekan lalu menghantam daerah ini. Daerah
bencana itu, seperti dikatakan Gubernur Ja-Bar Aang Kunaefi,
seperti bekas perang dunia saja. Batu-batu sebesar gajah dan
pepohonan yang rubuh bergelimpangan di jalan-jalan. Lokasi
perumahan terlihat rata dengan tanah.
Para petugas dari Polri, PMI (Palang Merah Indonesia), Resimen
Mahawarman Universitas Padjadjaran serta Wanadri sepanjang hari
masih terus berusaha mencari korban yang masih tertimbun lumpur.
Sampai Sabtu lalu telah ditemukan 120 mayat dan diduga masih ada
23 mayat lagi yang tertimbun. Kerugian materi akibat bencana ini
ditaksir lebih dari 2 milyar rupiah. Sekitar 3000 orang penduduk
kedua desa ini terpaksa mengungsi karena rumah mereka rubuh atau
rusak.
Ribuan orang tanpa bisa dicegah tiap hari mengunjungi daerah
bencana ini. Tampaknya mereka tak peduli dengan larangan
mengunjungi daerah bencana yang terpancang di jalan menuju ke
dua desa ini, dan datang sekedar untuk menonton. Larangan itu
dibuat guna mencegah kemungkinan menyebarnya wabah penyakit
kolera yang dikhawatirkan bisa berjangkit. Sejauh ini belum ada
yang terkena penyakit ini.
Walau bantuan sudah mengalir dan jalan-jalan mulai dibersihkan
dua buldoser yang bekerja siang malam, suasana duka masih tampak
menggantung di daerah yang tertimpa musibah itu. Beberapa orang
penduduk kelihatan mengorek-ngorek reruntuhan mencari barang
yang bisa dimanfaatkan, namun belum seorang pun yang berani
membangun kembali rumahnya.
Saros, 30 tahun, malah sudah bertekad untuk tidak kembali ke
desanya, Sangiang. "Kami sekeluarga akan pergi ke mana saja yang
mungkin membuat hidup kami tenang," ujar ayah dari 3 orang anak
ini. Walau tidak kehilangan seorang anggota keluargapun, ia
memandang masa depannya suram. "Yang tinggal hanya celana
dalam," ujar Saros yang masih terbaring di Rumah Sakit Talaga.
Toh ia tidak kehilangan kepercayaannya. "Saya masih muda. Dengan
iman kepadaNya, insyaallah Tuhan tidak akan membiarkan hidup
saya melarat," ujar Saros.
Apa penyebab bencana itu? "Tidak tahu. Hutan masih lebat,
masyarakat taat menjalankan ibadatnya dan larangan leluhur masih
dijunjung tinggi," jawab Saros polos.
Buat para penduduk, bencana yang menimpa mereka memang tidak
terduga. Lokasi kedua desa ini hampir berada di lereng Gunung
Ciremai dan Gegerhalang. Sekitar 1000 meter di atas permukaan
laut. Hampir tidak ada jalan datar yang menuju desa-desa ini.
Tebing-tebing yang mendindingi kedua desa itu cukup curam,
sekitar 45 derajat, penuh dengan pepohonan lebat.
Menurut dugaan, hujan lebat yang turun terus menerus selama 5
hari menghantam daerah pegunungan selatan Ciremai sampai 26
Desember lalu (dengan jumlah curah hujan 208 mm) merupakan salah
satu penyebab bencana tersebut. Hujan tersebut, ditambah hutan
tutupan yang tidak lebat lagi (akibat penggundulan?) serta
perkebunan penduduk yang tidak diterasir menjadi labil dan
mengalami gerakan tanah.
"Gerakan tanah ini mengakibatkan akumulasi bahan rombakan pada
dasar lembah yang membendung alur-alur alamiah tersebut. Hujan
yang terus menerus menguhah lembah ini menjadi kantung-kantung
air yang pada suatu saat mengalami pelimpahan isinya. Bendungan
alamiah ini kemudian jebol dan terjadilah banjir bandang," kata
Dirjen Pertambangan Umum J.A. Katili pada TEMPO.
Akan Makmur
Runtuhan tanah dan batuan bercampur air ini bergerak dari
ketinggian 1540 meter dengan kecepatan tinggi melanda kampung
pertama -- Legok yang terletak pada ketinggian 1060 m. Material
bertambah banyak karena proses perseretan dasar alur sungai ke
daerah-daerah rendah. Akibatnya Desa Sangiang digempur pula oleh
batu-batuan yang berasal dari aliran lava tua yang terletak
beberapa ratus meter dari desa tersebut. Batuan ini pecah dan
terseret arus lumpur, kemudian menumpuk di daerah sempit dekat
Sangiang dan akhirnya menjebol benteng alamiah ini.
J.A. Katili menyimpulkan, penyebab utama bencana ialah
kemiringan medan yang terjal, lava, lahar gunung api dan tufa
yang mudah goyah yang bertumpuk pada lereng Gunung Ciremai.
Ditambah lagi dengan adanya perkebunan di daerah yang seharusnya
merupakan hutan tutupan, curah hujan yang tinggi dan angin
ribut.
Secara geologis daerah Gunung Ciremai memang termasuk golongan
daerah waspada, yang sewaktu-waktu dapat terkena bencana gerakan
tanah dan batuan. Yang termasuk golongan ini meliputi beberapa
gunung api tua ataupun yang masih aktif seperti Gunung Maninjau,
Gunung Kelut dan Gunung Batur. Yang lebih berbahaya adalah
daerah kronis yang hampir tiap tahun terkena bencana ini, antara
lain daerah Cianjur Selatan Sumedang, Priangan Timur, Bumiayu,
Banjarnegara dan Bojonegoro.
Daerah bencana ini termasuk daerah subur yang menghasilkan sayur
mayur yang ditanam penduduk di lereng-lereng bukit sampai ke
puncaknya. Menurut Presiden Soeharto, yang meninjau Talaga 3
hari setelah bencana, musibah tersebut terjadi karena kesalahan
tataguna tanah. Jenis tanaman seharusnya disesuaikan dengan
keadaan tanah.
Di desa seperti Sangiang sebenarnya dapat ditanam jenis tanaman
tahunan seperti kopi. Selain hasilnya lebih tinggi, tanaman ini
dapat menyerap air dan menghindarkan kelongsoran. Kepala Negara
juga menganjurkan pembuatan teras dan petak bagi pertanian di
lereng yang kemiringannya lebih dari 45 derajat.
Menurut Supawi, 95 tahun, orang tertua yang masih hidup di
Sangiang desa itu dulunya bekas ibukota kerajaan Sangiangtalaga.
Pada suatu hari kelak, katanya, daerah ini akan menjadi
"Sangiangtalaga ngadaun ngora" -- artinya akan mengalami masa
subur makmur. Tapi sebelumnya akan terjadi bencana "geger alam",
yakni longsornya Gunung Gegerhalang. Bencana dua pekan lalu,
tampaknya oleh sementara penduduk, dianggap geger alam yang
disebut cerita lama tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini