Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Geger alam di talaga

Bencana alam terjadi di desa sangiang dan sunia, talaga, majalengka (ja-bar). desa tersebut berada dilereng gunung ciremai & gegerbalang. kemiringan medan terjal sebagai penyebab utama bencana. (nas)

10 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAU busuk yang menusuk sampai akhir pekan lalu masih tercium di desa Sangiang dan Sunia, Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Bau itu diduga berasal dari mayat manusia serta bangkai binatang yang tertimbun lumpur akibat bencana banjir dan longsor yang dua pekan lalu menghantam daerah ini. Daerah bencana itu, seperti dikatakan Gubernur Ja-Bar Aang Kunaefi, seperti bekas perang dunia saja. Batu-batu sebesar gajah dan pepohonan yang rubuh bergelimpangan di jalan-jalan. Lokasi perumahan terlihat rata dengan tanah. Para petugas dari Polri, PMI (Palang Merah Indonesia), Resimen Mahawarman Universitas Padjadjaran serta Wanadri sepanjang hari masih terus berusaha mencari korban yang masih tertimbun lumpur. Sampai Sabtu lalu telah ditemukan 120 mayat dan diduga masih ada 23 mayat lagi yang tertimbun. Kerugian materi akibat bencana ini ditaksir lebih dari 2 milyar rupiah. Sekitar 3000 orang penduduk kedua desa ini terpaksa mengungsi karena rumah mereka rubuh atau rusak. Ribuan orang tanpa bisa dicegah tiap hari mengunjungi daerah bencana ini. Tampaknya mereka tak peduli dengan larangan mengunjungi daerah bencana yang terpancang di jalan menuju ke dua desa ini, dan datang sekedar untuk menonton. Larangan itu dibuat guna mencegah kemungkinan menyebarnya wabah penyakit kolera yang dikhawatirkan bisa berjangkit. Sejauh ini belum ada yang terkena penyakit ini. Walau bantuan sudah mengalir dan jalan-jalan mulai dibersihkan dua buldoser yang bekerja siang malam, suasana duka masih tampak menggantung di daerah yang tertimpa musibah itu. Beberapa orang penduduk kelihatan mengorek-ngorek reruntuhan mencari barang yang bisa dimanfaatkan, namun belum seorang pun yang berani membangun kembali rumahnya. Saros, 30 tahun, malah sudah bertekad untuk tidak kembali ke desanya, Sangiang. "Kami sekeluarga akan pergi ke mana saja yang mungkin membuat hidup kami tenang," ujar ayah dari 3 orang anak ini. Walau tidak kehilangan seorang anggota keluargapun, ia memandang masa depannya suram. "Yang tinggal hanya celana dalam," ujar Saros yang masih terbaring di Rumah Sakit Talaga. Toh ia tidak kehilangan kepercayaannya. "Saya masih muda. Dengan iman kepadaNya, insyaallah Tuhan tidak akan membiarkan hidup saya melarat," ujar Saros. Apa penyebab bencana itu? "Tidak tahu. Hutan masih lebat, masyarakat taat menjalankan ibadatnya dan larangan leluhur masih dijunjung tinggi," jawab Saros polos. Buat para penduduk, bencana yang menimpa mereka memang tidak terduga. Lokasi kedua desa ini hampir berada di lereng Gunung Ciremai dan Gegerhalang. Sekitar 1000 meter di atas permukaan laut. Hampir tidak ada jalan datar yang menuju desa-desa ini. Tebing-tebing yang mendindingi kedua desa itu cukup curam, sekitar 45 derajat, penuh dengan pepohonan lebat. Menurut dugaan, hujan lebat yang turun terus menerus selama 5 hari menghantam daerah pegunungan selatan Ciremai sampai 26 Desember lalu (dengan jumlah curah hujan 208 mm) merupakan salah satu penyebab bencana tersebut. Hujan tersebut, ditambah hutan tutupan yang tidak lebat lagi (akibat penggundulan?) serta perkebunan penduduk yang tidak diterasir menjadi labil dan mengalami gerakan tanah. "Gerakan tanah ini mengakibatkan akumulasi bahan rombakan pada dasar lembah yang membendung alur-alur alamiah tersebut. Hujan yang terus menerus menguhah lembah ini menjadi kantung-kantung air yang pada suatu saat mengalami pelimpahan isinya. Bendungan alamiah ini kemudian jebol dan terjadilah banjir bandang," kata Dirjen Pertambangan Umum J.A. Katili pada TEMPO. Akan Makmur Runtuhan tanah dan batuan bercampur air ini bergerak dari ketinggian 1540 meter dengan kecepatan tinggi melanda kampung pertama -- Legok yang terletak pada ketinggian 1060 m. Material bertambah banyak karena proses perseretan dasar alur sungai ke daerah-daerah rendah. Akibatnya Desa Sangiang digempur pula oleh batu-batuan yang berasal dari aliran lava tua yang terletak beberapa ratus meter dari desa tersebut. Batuan ini pecah dan terseret arus lumpur, kemudian menumpuk di daerah sempit dekat Sangiang dan akhirnya menjebol benteng alamiah ini. J.A. Katili menyimpulkan, penyebab utama bencana ialah kemiringan medan yang terjal, lava, lahar gunung api dan tufa yang mudah goyah yang bertumpuk pada lereng Gunung Ciremai. Ditambah lagi dengan adanya perkebunan di daerah yang seharusnya merupakan hutan tutupan, curah hujan yang tinggi dan angin ribut. Secara geologis daerah Gunung Ciremai memang termasuk golongan daerah waspada, yang sewaktu-waktu dapat terkena bencana gerakan tanah dan batuan. Yang termasuk golongan ini meliputi beberapa gunung api tua ataupun yang masih aktif seperti Gunung Maninjau, Gunung Kelut dan Gunung Batur. Yang lebih berbahaya adalah daerah kronis yang hampir tiap tahun terkena bencana ini, antara lain daerah Cianjur Selatan Sumedang, Priangan Timur, Bumiayu, Banjarnegara dan Bojonegoro. Daerah bencana ini termasuk daerah subur yang menghasilkan sayur mayur yang ditanam penduduk di lereng-lereng bukit sampai ke puncaknya. Menurut Presiden Soeharto, yang meninjau Talaga 3 hari setelah bencana, musibah tersebut terjadi karena kesalahan tataguna tanah. Jenis tanaman seharusnya disesuaikan dengan keadaan tanah. Di desa seperti Sangiang sebenarnya dapat ditanam jenis tanaman tahunan seperti kopi. Selain hasilnya lebih tinggi, tanaman ini dapat menyerap air dan menghindarkan kelongsoran. Kepala Negara juga menganjurkan pembuatan teras dan petak bagi pertanian di lereng yang kemiringannya lebih dari 45 derajat. Menurut Supawi, 95 tahun, orang tertua yang masih hidup di Sangiang desa itu dulunya bekas ibukota kerajaan Sangiangtalaga. Pada suatu hari kelak, katanya, daerah ini akan menjadi "Sangiangtalaga ngadaun ngora" -- artinya akan mengalami masa subur makmur. Tapi sebelumnya akan terjadi bencana "geger alam", yakni longsornya Gunung Gegerhalang. Bencana dua pekan lalu, tampaknya oleh sementara penduduk, dianggap geger alam yang disebut cerita lama tadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus