Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Penghargaan Sastra dalam Kepayahan Hidup Sastrawan

Damhuri Muhammad

Damhuri Muhammad

Managing Editor Porch Literary Magazine dan mantan Ketua Komite Penjurian Kusala Sastra Khatulistiwa

Bagaimana akan terbentuk sebuah iklim kekaryaan dari kepayahan-kepayahan hidup yang berkesinambungan? 

8 Februari 2025 | 12.00 WIB

Ilustrasi karya sastra. Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi karya sastra. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Royalti buku untuk penulis hanya 10 persen sementara rabat toko buku 55-65 persen.

  • Karya-karya para penyair Indonesia mutakhir tertimbun jauh di kedalaman tumpukan novel-novel impor yang laris.

  • Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk meringankan beban kepayahan hidup penulis.

DALAM sebuah obrolan ringan dengan sahabat saya, Richard Oh (1959-2022), inisiator sekaligus pendiri lembaga Khatulistiwa Literary Award (KLA)—kini berubah nama menjadi Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK)—saya iseng bertanya perihal apa sebenarnya tujuan pokok dari penyelenggaraan anugerah sastra dengan nominal hadiah Rp 100 juta itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

"Para pengarang kita sering berada dalam situasi BU ('butuh uang')," ujar Richard, dengan intonasi suara cukup serius. "Nominal hadiah KLA setidaknya cukup untuk membeli sebuah mesin cetak dalam bisnis penerbitan buku."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

​Perbincangan tak sengaja di sela kesibukan kami dalam kerja pembentukan Komite Penjurian KLA 2007 itu—penyelenggaraan tahun ketujuh—mengingatkan saya pada tipisnya nilai ekonomi yang diperoleh penulis dari industri perbukuan di republik ini. Betapa tidak. Sebagai produsen atau pemegang hak cipta, penulis atau pengarang hanya berhak menerima royalti sebesar 10 persen dari harga jual.

Untuk buku prosa atau puisi seharga Rp 30 ribu yang terjual 1.000 eksemplar, penulis hanya menerima royalti Rp 3 juta. Sedangkan toko buku dapat menikmati 55-65 persen rabat untuk fasilitas displai yang mereka sediakan. "Untuk sebuah karya yang membutuhkan upaya tahunan, biaya besar, perasan keringat dan akal tak terpemanai, nilai itu hampir dapat dikatakan sebagai penghinaan terhadap penulis," demikian sikap almarhum penyair-budayawan Radhar Panca Dahana dalam sebuah kolom seni.

​Itu pun hanya dapat diraih oleh para penulis yang beruntung bukunya diterbitkan, terutama di perusahaan penerbitan major label. Dalam ekosistem kesusastraan kita, khususnya kekaryaan puisi, sering terlihat seorang penyair terkemuka menenteng manuskrip puisi ke sana-kemari. Namun, atas alasan dan pertimbangan selling point atau segmentasi pembaca yang tidak menjanjikan, redaksi penerbit mentah-mentah menolaknya.

Tak dimungkiri, memang ada satu-dua label penerbit mayor yang tidak alergi dengan manuskrip puisi. Namun mekanisme kuratorial dalam memutuskan kelayakan naskah sudah mengabaikan segala macam pertimbangan pasar dan semata-mata hanya untuk menghormati tradisi puisi di negeri ini. Dengan begitu, setidaknya masih ada jatah satu buku puisi dalam setahun, yang bila ditakar dengan analisis pasar, dipastikan tiada bakal balik modal. Peluang sempit inilah yang diperebutkan oleh ratusan penyair di republik yang konon sangat menggandrungi puisi ini.

Akhirnya, bila tetap menginginkan kekaryaan dalam wujud buku, seorang penyair mesti menyodorkan estimasi biaya produksi buku kepada sejumlah pihak, baik perorangan maupun lembaga, yang sudi membiayai penerbitannya. Bila tak ada sponsor yang berkenan, penyair terpaksa merogoh kantong sendiri. Tengoklah shortlist KLA 2010, khususnya kategori puisi, yang hampir semuanya terbit dengan siasat, kerja keras, dan militansi para penyair dalam memperjuangkan puisi-puisi mereka.

Dalam pidato singkat malam penganugerahan KLA 2010 di Plaza Senayan, Jakarta, penyair Gunawan Maryanto (1976-2021) membenarkan bahwa bukunya diterbitkan secara print on demand; dicetak terbatas sesuai dengan pesanan. Inilah potret keterpinggiran buku puisi dalam industri perbukuan kita, yang kemudian menimbulkan pesimisme, bahkan inferioritas kaum penyair.  

Konferensi pers Kusala Sastra Khatulistiwa 2025 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 20 Januari 2025. ANTARA/Muhammad Ramdan

Keagungan puisi yang konon dapat melampaui capaian filsafat sebagaimana pembelaan filsuf eksistensialis Martin Heidegger (1889-1976) terhadap sajak-sajak penyair Jerman, Friedrich Holderlin, atau gairah keberpihakan Octavio Paz (1914-1998) terhadap puisi yang pantas dipertahankan seperti mempertahankan kemerdekaan untuk mendedahkan pikiran, agaknya sukar terpetakan dalam khazanah perpuisian Indonesia hingga detik ini.

Karya-karya para penyair Indonesia mutakhir tertimbun jauh di kedalaman tumpukan novel best-seller yang diimpor secara masif oleh penerbit-penerbit besar. Tersembunyi di rak-rak paling pojok yang sangat jarang disambangi pembaca. Tergeletak penuh debu hingga diobral atau digudangkan begitu saja.

Itu baru sekelumit persoalan yang mesti ditanggung para penyair di bawah kuasa industri perbukuan. Wajah kekaryaan, baik puisi maupun prosa dalam wujud nonbuku, katakanlah publikasi koran cetak (jika masih ada) atau ruang penyiaran karya sastra di platform-platform daring, tak jauh berbeda. Nominal honorarium yang diterima kontributor—penyair, cerpenis, ataupun esais—untuk satu kali penayangan bahkan tidak memadai untuk menutup tagihan listrik, apalagi tagihan bulanan sewa rumah kontrakan di pinggiran Jakarta.

Itu pun hanya diberikan oleh media-media daring yang memiliki kepekaan ekonomi terhadap harga sebuah karya. Sebab, sebagian besar ruang penyiaran karya sastra di situs-situs web seni, honorariumnya tak lebih dari "ucapan terima kasih" dari admin. Lantas, bagaimana mau membayangkan terbentuknya sebuah iklim kekaryaan dari kepayahan-kepayahan hidup yang berkesinambungan? Bagaimana mau berkarya dalam situasi BU dari minggu ke minggu?  

Beban ekonomi yang mengepung ekosistem kesusastraan Indonesia inilah yang sedikit-banyak hendak diringankan oleh lembaga penghargaan sastra, seperti KSK, yang dalam catatan saya telah bertahan hingga 20 kali penyelenggaraan, dengan nominal hadiah yang sama sekali tak berkurang—apalagi "dikurang-kurangi".

Sepengetahuan saya dan Richard Oh, para penulis yang memenangi KSK memang dapat mengatasi beban ekonomi kekaryaannya dalam macam-macam bentuk. Ada yang kemudian sukses dengan bisnis penerbitan, ada pula yang menginvestasikan hadiahnya untuk usaha-usaha kecil yang lain—meski ada satu-dua yang mengklaim telah menghambur-hamburkannya untuk sekadar membeli gincu dan celak.

Jadi, kalau ada pihak-pihak yang kini hendak membangkitkan kembali semangat KSK setelah terhenti pada tahun ke-20, sebaiknya tidak mengabaikan iktikad tulus almarhum Richard Oh. Selama keterlibatan saya dalam penyelenggaraan seleksi KSK sejak 2007, saya tidak pernah mendengar kawan-kawan penyelenggara bicara soal dampak penghargaan sastra terhadap pertumbuhan dan kualitas kekaryaan. "We begin by enhancing the quality of their economic well-being," ucap Richard Oh yang sehari-hari gandrung berbahasa Inggris dalam obrolan kami di kesempatan lain.

Ada banyak lembaga penghargaan sastra di Indonesia yang menyeleksi calon pemenang anugerah setiap tahun. Tapi, dari sisi nominal hadiah, saya pastikan belum ada yang bisa melampaui nominal hadiah KSK rintisan Richard Oh. Lebih jauh, tak banyak yang sanggup bertahan selama 20 tahun dan tanpa mengandalkan bantuan pemerintah sama sekali.

Dari aspek daya tahan dalam penyelenggaraan hadiah sastra, yang bisa melampaui keberlanjutan KSK hanyalah Hadiah Sastra Rancage yang digagas sastrawan Ajip Rosidi. Lembaga penghargaan sastra yang concern pada buku-buku sastra berbahasa daerah itu telah mengumumkan pemenangnya pada akhir Januari 2025 untuk tahun penyelenggaraan yang ke-37, dengan nominal hadiah Rp 7 juta.  

Richard Oh di toko buku QB World Books, Jakarta, 2002. Dok. TEMPO/ Swanti

Selain menyediakan benefit dalam bentuk uang, ada penghargaan sastra yang concern pada apresiasi dalam bentuk ulasan intens terhadap karya pemenang serta engagement perbincangan media sosial, dari fase pengumuman daftar panjang (longlist), daftar pendek (shortlist), hingga maklumat buku sastra terbaik, yang kemudian diulas dalam bentuk esai panjang di laporan khusus terbitan majalah.

Corak penghargaan semacam ini tentu bertujuan untuk memperluas distribusi kepembacaan, termasuk mempromosikan karya sastra kepada khalayak pembaca lebih luas. Namun, menurut saya, penghargaan sastra tanpa kepekaan pada beban kepayahan ekonomi kaum penulis adalah "selemah-lemahnya iman". Tak perlu menyediakan hadiah uang dalam jumlah sebanyak yang disediakan oleh KSK, cukup dengan menambahkan penyerahan sertifikat pemenang dengan uang senilai Rp 25 juta saja. Itu sudah besar artinya bagi pengarang.                  

Corak penghargaan sastra nonuang, yang bagi saya lebih besar engagement perbincangan medianya ketimbang kepekaan untuk meringankan bebas ekonomi para penulis, hampir sama dengan model penyelenggaraan penghargaan nonbuku atas karya kreatif di luar negeri, katakanlah Pushcart Prize, Best Small Fiction, Best Microfiction, dan sederetan jenis penghargaan nonuang lain. Penghargaan-penghargaan itu dari tahun ke tahun fungsinya hanya untuk memperpanjang deskripsi third-person bio para penulis.

Dari pengalaman saya di komunitas #WritingCommunity (grup perbincangan penulis dari berbagai negara) di platform X (sebelumnya Twitter), konten-konten berisi nama-nama penulis yang terseleksi dalam Pushcart Prize Nominations atau Best Small Fiction Nominations saban hari bermunculan di grup perbincangan penulis. Tapi tak pernah terdengar besaran nominal apresiasi terhadap pemenang.

Dalam iklim kekaryaan sastra di negara-negara maju, yang di dalamnya beban ekonomi kepengarangan yang saya bincangkan di atas tidak lagi menjadi persoalan, tentu jenis penghargaan nonuang itu relevan. Sebab, hanya dibutuhkan untuk memperluas distribusi kepembacaan, dan lebih-lebih untuk memenuhi "kedahagaan narsistik" para penulis di belantara lini masa. 

Tapi, di Indonesia, agaknya hal itu belum terlalu berguna. Sebab, iklim kekaryaan tak akan nyaman dan leluasa jika para kreator masih terkepung oleh belitan kepayahan hidup keseharian. Sukar membayangkan terbentuknya iklim kekaryaan yang dapat melahirkan karya-karya bermutu tinggi jika para penulis kita masih gandrung "bermain kucing-kucingan" dengan para penagih utang pinjol.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus