Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Penjara

Dipertanyakan benarkah penjara tepat sebagai tempat hukuman. penjara tak mungkin menjadi lembaga pendidikan akhlak yang sesungguhnya. dr. hazairin memilih hukum islam sebagai alat hukuman, bukan penjara.

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAMIENS dihukum mati secara mengerikan 2 Maret 1757 di Place di Greve, Paris. Telah diputuskan oleh hakim bahwa ia akan diikat di sebuah tiang di sana, dan dagingnya akan dirobek dari dada, lengan, dan pahanya, dengan penjepit yang panas. Di tempat-tempat yang luka itu kemudian akan dituangkan minyak mendidih, juga timah dan lilin dan belerang. Lalu tubuhnya akan dikoyak oleh empat ekor kuda, sebelum dibakar hingga jadi abu. Kekejaman nampaknya bukan yang dianggap penting di hari itu. Damiens menjerit, belerang dinyalakan, kuda-kuda yang diikatkan ke tubuhnya didera ke arah berlawanan, dan setelah susah payah, berhasil mematahkan lengan serta pungguh si terhukum: tapi yang penting ialah bahwa semua ini harus jadi contoh. Hukuman juga suatu pertunjukkan. Makin mengerikan, makin efektif. Namun abad ke-18 dengan segera berlalu dari Paris dan seluruh dunia. Seperti dikemukakan Michel Foucault, suatu zaman baru di bidang hukuman lahir: menghilangnya penyiksaan sebagai sebuah tontonan publik. Hukuman itu sendiri kemudian menjadi bagian yang paling tersembunyi dalam proses penghukuman. Yang akan menangkal kejahatan bukanlah pertunjukkan seperti yang pernah disaksikan di Place de Greve, melainkan kepastian bahwa perbuatan salah akan divonis. Guillotine agaknya contoh tentang sebuah teknologi kematian dan bergantinya sikap. Alat pemotong leher ini sebenarnya diciptakan untuk mengurangi -- bahkan melenyapkan -- rasa sakit dan siksaan bagi orang yang dihukum mati. Dan ketika pertama kalinya dipakai menjelang akhir abad ke-18 itu, efektifitasnya memang terbukti: ia bekerja cepat nyaris tak terlihat, dan sang algojo tak perlu menyentuh tubuh sang terhukum. Suatu etika baru telah diperlihatkan dalam hal membunuh secara legal. Toh guillotine akhirnya, di masa Revolusi Prancis, mengulang kembali corak yang lama: begitu banyak kepala dipenggal dan begitu banyak orang menonton. Tak heran bila kemudian, seperti menuruti kehendak nilai-nilai yang berubah, guillotine pun disembunyikan. Hukuman mati itu dilakukan secara rahasia. Bahkan para saksi yang kemudian membocorkan kejadian itu ke publik bisa dituntut. Yang terjadi, barangkali, bukanlah sekadar kemunafikan orang-orang yang berwenang untuk hidup matinya seseorang. Yang terjadi barangkali cuma pengambilan jarak antara hakim yang terhormat di satu pihak dan algojo ataupun penjaga bui yang kasar di lain pihak, seolah-olah keduanya tak saling bertaut dan bersatu. Dan mungkin yang timbul kemudian ialah keyakinan baru: manusia dapat berubah jadi baik, bila ia diperlakukan baik. Dari situlah lahir penjara dalam semangatnya yang sekarang. Di Indonesia ia bahkan disebut dengan kata yang sangat halus dan ramah, "lembaga pemasyarakatan". Kita dengan itu hendak menyatakan bahwa si jahat dapat dikembalikan ke jalan orang ramai dan tempat itu seakan sebuah lembaga pendidikan akhlak. Tapi benarkah? Rupanya tak semua sepaham. Prof. Dr. Hazairin jelas tidak sepaham. Ahli hukum ini di tahun 1981 punya sebuah buku yang diterbitkan Bina Aksara, suatu kumpulan tulisan yang bernama Tujuh Serangkai Tentang Hukum. Artikel pertamanya berjudul "Negara Tanpa Penjara", dan ia menulis dengan kalimat yang khas tajam: "Bagaimanapun juga bagusnya peraturan kepenjaraan, tidak ada orang yang berpikiran halus mau menyamakannya dan mensetarafkannya dengan suatu lembaga pendidikan akhlak yang sesungguhnya." Maka seperti Ivan Illich yang mau membebaskan masyarakat dari lembaga sekolah, Hazairin juga menulis bahwa "penjara mestilah dihapuskan". Sebagai alternatif guru besar itu menawarkan satu sumber: Quran. Quran, tulis Hazairin, hanya mengenal hukuman mati, hukuman dera, hukuman denda, hukuman potong anggota badan, hukuman buang, hukuman qisas atau pembalasan yang bersyarat dan terbatas, hukuman ta'zir dan kaffarah. Kitab Suci umat Islam itu, menurut Hazairin, bukannya tak mengenal penjara, malainkan "tidak mau memilih penjara sebagai alat hukuman". Dengan semangat polemik yang tinggi, sang profesor memang hendak menyerukan berlakunya hukum Islam di Indonesia, untuk umat Islam. Seruannya bisa disanggah dan tafsirannya tentang Quran (juga tentang Injil dan Torat) bisa diperdebatkan. Namun pernyataan tentang penjara bergema di saat orang tidak percaya lagi tentang bromocorah yang bisa pulang ke masyarakat dan sel bui yang tak jadi sekolah tinggi kriminalitas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus